Berawal Dari Kelalaian, Berakhir Dengan Pandemi COVID-19

Makramat.com. Berdasarkan kajian dari perspektif hak asasi manusia (HAM), pandemi COVID-19 di Indonesia ditengarai berawal dari kelalaian. Dalam konteks HAM, kelalaian merupakan bagian dari penyebab pelanggaran HAM, selain kesengajaan atau ketidaksengajaan.

Demikian disampaikan oleh Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M. Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dalam seminar online (Semon) yang diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung pada Jumat (24/7/2020).

Pembicara lainnya adalah Erika Magdalena, S.H., M.H. juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Sementara itu, moderator adalah Mei Susanto, S.H., M.H. juga dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.

Semon tersebut bertema “Evaluasi Terhadap Penanganan Covid-19 dan Kesiapan Memasuki Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Dari Perspektif Hak Asasi Manusia”.

Hernadi menjelaskan bahwa kemunculan pandemi COVID-19 di Indonesia ditengarai awalnya karena adanya indikasi kelalaian pemerintah Pusat dalam mengantisipasi wabah penyakit yang berasal dari Wuhan (China).

Ia menjelaskan paling tidak terdapat empat indikasi pemerintah lalai pada saat kemunculan wabah COVID-19, sehingga terlambat dalam penanganan COVID-19 selanjutnya.

Pertama, Pemerintah terkesan menutupi informasi tentang COVID-19 dengan alasan supaya tidak terjadi kepanikan di masyarakat.

Kedua Pemerintah terlambat menutup akses pintuk masuk kedatangan orang asing atau yang datang dari luar negeri untuk mencegah masuknya COVID-19 ke Indonesia.

Ketiga, Pemerintah mengabaikan peringatan dari pakar medis, media massa, peneliti luar negeri, badan kesehatan dunia (WHO) terkait dengan COVID-19.

Keempat, Pemerintah tidak menyiapkan fasilitas, prasarana, sarana, data, dan informasi yang memadai terkait dengan COVID-19.

Setelah tahap awal melakukan kelalaian, dalam tahap selanjutnya, yaitu tahap penanganan COVID-19 terjadi indikasi “sengaja” melakukan pembatasan terhadap aktivitas masyarakat. Akibatnya, terjadi indikiasi pelanggaran HAM baik Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial, maupun Budaya.

Tindakan sengaja melakukan pembatasan dalam bentuk PSBB juga dapat merupakan indikasi pelanggaran HAM. Di dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, ada tiga penyebab pelanggaran HAM, yaitu disengaja, tidak disengaja, dan kelalaian.

“Istilah yang digunakan saja sudah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), artinya di situ ada pembatasan, padahal kata pembatasan ittu indisikator penyebab pelanggaran HAM jika mengacu kepada Undang-Undang HAM”, jelas Hernadi.

Seperti diketahui PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi, sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

PSBB paling sedikit meliputi tiga hal, yaitu: peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

“Berdasarkan cara penanganan COVID-19 oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah beberapa waktu lalu seperti itu, ditengarai telah terjadi banyak pelanggaran HAM baik terhadap HAM Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial, maupun Budaya,” demikian Hernadi menjelaskan.

Tampaknya, pemerintah “lupa” atau “lalai” atas tugas dan tanggung jawabnya dalam menjaga kesehatan masyarakat sebagai bagian dari HAM.

Padahal, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan telah menegaskan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab dalam melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

“Itulah alasan dalam penanganan COVID-19 selama ini perlu ada evaluasi komprehensif oleh pihak yang berkompeten. Agar tidak terjadi lagi indikasi pelanggaran HAM pada masa yang akan datang setelah memasuki Era Adaptasi Kebiasaan Baru,” pungkas Hernadi di dalam Semon tersebut. (RP).

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below