Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedelapan Belas)

Oleh: Hernadi Affandi

Kejanggalan lain yang dimiliki oleh Otorita Ibu Kota Negara adalah berwenang mengeluarkan peraturan sendiri, tetapi harus mendapatkan persetujuan DPR. Kewenangan tersebut diberikan kepada Otorita Ibu Kota Nusantara atas dasar kekhususan dalam penyelenggaraan pemerintahan DKI Nusantara.

Hal itu sebagaimana diatur di dalam Pasal 5 ayat (6) dan Pasal 24 ayat (6) UU IKN yang secara normatif akan bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011. Menurut UUD 1945 dan undang-undang tersebut, “peraturan” yang harus mendapatkan persetujuan DPR adalah Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu).

Adapun Pasal 5 ayat (6) berbunyi sebagai berikut: “Otorita Ibu Kota Nusantara berhak menetapkan peraturan untuk menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara dan/atau melaksanakan kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara.”

Penjelasan Pasal 5 ayat (6) menjelaskan sebagai berikut: Sebagai salah satu bentuk kekhususan, Otorita lbu Kota Nusantara memiliki kewenangan menetapkan sendiri peraturan dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, kecuali peraturan yang harus mendapatkan persetujuan DPR sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Sementara itu, Pasal 24 ayat (6) UU IKN berbunyi sebagai berikut: Dasar pelaksanaan pemungutan pajak khusus dan/atau pungutan khusus di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan peraturan yang ditetapkan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara setelah mendapat persetujuan DPR.

Persoalan tersebut bukan karena Otorita Ibu Kota Nusantara berhak mengeluarkan peraturan, tetapi karena peraturan yang dikeluarkan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara harus mendapatkan persetujuan dari DPR (pusat). Hal itu merupakan sesuatu yang janggal dan tidak dikenal dalam pembentukan hukum di Indonesia.

Selama ini, produk hukum yang disebut sebagai peraturan yang harus mendapakan persetujuan DPR adalah Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perppu). Adapun pihak yang berhak mengeluarkan dan selanjutnya mengajukan Perpu tersebut kepada DPR adalah hanya Presiden bukan pihak lain.

Ketentuan tersebut ditegaskan di dalam Pasal 22 UUD 1945 yang terdiri dari 3 ayat. Selengkapnya, Pasal 22 UUD 1945 berbunyi sebagai berikut: (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Dengan demikian, “peraturan” yang harus mendapatkan persetujuan dari DPR tidak sembarangan dikeluarkan selain oleh Presiden.

Perpu sendiri hanya dapat dikeluarkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa bukan dalam keadaan “normal” atau “biasa-biasa” saja. Dengan kata lain, Perpu tidak dapat dikeluarkan oleh Presiden jika keadaannya normal  atau biasa-biasa saja tanpa adanya kegentingan yang memaksa dan yang memperhitungkan itu adalah Presiden sendiri.

Sementara itu, produk hukum lan yang harus mendapatkan persetujuan dari DPR adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk menjadi undang-undang. Berbeda dengan Perpu, undang-undang dikeluarkan dalam keadaan normal atau biasa-biasa saja, tetapi tetap harus dikeluarkan oleh Presiden bukan oleh pihak lain. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below