Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedua Puluh Satu)

Oleh: Hernadi Affandi

Pengaturan terkait dengan pajak semestinya diatur dengan undang-undang yang kemudian diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan pelaksana. Pasal 23A UUD 1945 berbunyi sebagai berikut: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

Adapun alasan pungutan pajak diatur dengan undang-undang karena hal itu akan membebani atau memberatkan rakyat, sehingga tidak dapat dilakukan secara semena-mena. Dalam hal ini, pungutan pajak tidak dapat dilakukan tanpa keterlibatan rakyat atau melalui para wakilnya di DPR.

Apabila meminjam penjelasan Pasal 23 UUD 1945 yang belum diubah, hal itu cukup membuktikan arti penting persetujuan DPR. Meskipun, Penjelasan UUD 1945 tidak lagi dikenal dalam sistematika UUD 1945, penjelasan tersebut memberikan petunjuk dan alasan keterlibatan DPR dalam pemungutan pajak.

Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 berbunyi sebagai berikut: Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan undang-undang yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Secara umum, pengaturan terkait dengan pajak diatur di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Selain itu, untuk Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.

Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 6 Tahun 1983, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sementara itu, menurut Pasal 1 angka 10 UU Nomor 28 Tahun 2009 Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, pajak merupakan pungutan yang dilakukan oleh negara dan daerah harus berdasarkan undang-undang. Hal itu penting agar tidak terjadi pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara, termasuk daerah, tanpa didasarkan kepada undang-undang atau bertentangan dengan undang-undang.

Berkaitan dengan kewenangan Otorita Ibu Kota Negara dalam memungut pajak tampaknya agak janggal karena tidak sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak yang ada. Misalnya, Undang-Undang Pajak tidak mengenal istilah pajak khusus, pungutan khusus, atau pajak yang dipungut oleh entitas yang disebut Otorita.

Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2009, terdapat 5 (lima) jenis pajak provinsi sebagai kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: Jenis Pajak provinsi terdiri atas: a. Pajak Kendaraan Bermotor; b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Air Permukaan; dan e. Pajak Rokok.

Namun demikian, sebagai catatan adalah bahwa Otorita Ibu Kota Negara bukan Pemerintahan Daerah Provinsi yang sesungguhnya karena hanya dianggap berkedudukan setingkat provinsi. Meskipun UU IKN memberlakukan peraturan perundang-undangan pajak daerah berlaku secara mutatis mutandis sebagai pajak khusus dan pungutan khusus justru dapat menimbulkan persoalan tersendiri dalam praktiknya. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below