Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedua Puluh)

Oleh: Hernadi Affandi

Ketentuan terkait dengan kewenangan pemungutan pajak atau pungutan khusus oleh Otorita Ibu Kota Negara diatur di dalam Pasal 24, khususnya ayat (4), (5), dan (6) UU IKN. Ketentuan tersebut dianggap sebagai perwujudan dari kekhususan yang dimiliki oleh Ibu Kota Negara sebagaimana diatur oleh UU IKN.

Selengkapnya, Pasal 24 ayat (4) UU IKN berbunyi sebagai berikut: Dalam rangka pendanaan untuk penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otorita Ibu Kota Nusantara dapat melakukan pemungutan pajak khusus dan/atau pungutan khusus di Ibu Kota Nusantara.

Selanjutnya, Pasal 24 ayat (5) UU IKN berbunyi sebagai berikut: Pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan berlaku secara mutatis mutandis sebagai pajak khusus dan pungutan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Sementara itu,  Pasal 24 ayat (6) UU IKN berbunyi sebagai berikut: Dasar pelaksanaan pemungutan pajak khusus dan/atau pungutan khusus di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan peraturan yang ditetapkan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara setelah mendapat persetujuan DPR.

Penjelasan Pasal 24 ayat (4) menjelaskan sebagai berikut: Yang dimaksud dengan “pajak khusus” adalah pajak yang berlaku khusus di Ibu Kota Nusantara. Yang dimaksud dengan “pungutan khusus” adalah pungutan yang berlaku khusus di Ibu Kota Nusantara termasuk pungutan terhadap layanan yang diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. Pungutan khusus di Ibu Kota Nusantara dapat menjadi penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, Penjelasan Pasal 24 ayat (5) menjelaskan sebagai berikut: Pajak dan retribusi daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan berlaku secara mutatis mutandis sebagai pajak khusus dan pungutan khusus di Ibu Kota Nusantara, termasuk tetapi tidak terbatas pada ketentuan mengenai objek, subjek, wajib pajak/ retribusi, dasar pengenaan, dan tarif pajak daerah dan retribusi daerah.

Sementara itu, Penjelasan Pasal 24 ayat (6) UU IKN menjelaskan sebagai berikut: Yang dimaksud dengan “mendapat persetujuan DPR’ adalah mendapat persetujuan dari alat kelengkapan DPR yang ditunjuk dan/atau diberi kewenangan untuk itu.

Berdasarkan ketentuan di atas dapat diketahui bahwa kewenangan Otorita Ibu Kota Nusantara dalam pemungutan pajak dan pajak khusus sangat besar. Kewenangan yang besar tersebut ditunjukkan dengan adanya mekanisme khusus untuk mengatur dasar pelaksanaan pemungutan pajak khusus dan/atau pungutan khusus yang diatur dengan “peraturan yang ditetapkan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara setelah mendapat persetujuan DPR.”

Persoalan yang menarik adalah “peraturan yang ditetapkan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara setelah mendapat persetujuan DPR.” Meskipun persetujuan DPR atas peraturan yang dikeluarkan oleh Otorita Ibu Kota Negara “hanya” diwakili oleh alat kelengkapan DPR dan bukan oleh DPR secara “utuh”, hal itu tetap saja merupakan sesuatu yang aneh dan janggal.

Kejanggalan tersebut karena bentuk hukum seperti itu tidak dikenal dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Seperti sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, “Peraturan” yang disetujui oleh DPR selama ini hanya Perpu atau jika mau diartikan secara luas dapat dimasukkan pula “RUU”. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below