Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kesembilan Belas)

Oleh: Hernadi Affandi

Pertanyaan terkait dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Otorita Ibu Kota Negara adalah bentuk hukumnya apa, sehingga harus disetujui oleh DPR. Selanjutnya, di mana kedudukan “peraturan” tersebut dalam tata urutan peraturan perundang-undangan saat ini sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.

Apabila mengacu kepada Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011, terdapat 5 (lima) jenis produk hukum yang disebut dengan peraturan. Kelima jenis peraturan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Berdasarkan ketentuan tersebut tidak ada istilah atau nomenklatur peraturan lain, selain kelima jenis peraturan perundang-undangan tersebut. Produk hukum yang dikeluarkan oleh Otorita Ibu Kota Negara juga tidak dapat dikelompokkan ke dalam Peraturan Daerah Provinsi meskipun dianggap satuan pemerintahan daerah setingkat provinsi.

Seperti dijelasan di dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU IKN bahwa sebagai salah satu bentuk kekhususan di DKI Nusantara tidak ada DPRD. Akibat tidak ada DPRD, “pemerintahan daerah” Otorita Ibu Kota Negara juga otomatis tidak dapat mengeluarkan produk hukum yang disebut dengan Peraturan Daerah Provinsi.

Menurut Pasal 1 angka 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Akibat tidak adanya Gubernur dan DPRD di Ibu Kota Negara baru artinya tidak mungkin akan mengeluarkan “Peraturan Daerah Provinsi”.

Demikian pula halnya, ketentuan Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 juga tidak mengatur jenis peraturan yang dikeluarkan oleh sebuah entitas yang disebut dengan Otorita. Ketentuan tersebut menegaskan produk hukum yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga negara utama, lembaga negara penunjang, pemerintahan daerah, atau kepala desa.

Selengkapnya, Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 berbunyi sebagai berikut: Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tersebut juga tidak ada istilah Peraturan Otorita. Dengan kata lan, Peraturan Otorita tidak dikenal di dalam sistem hukum terutama dalam jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang diatur di dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011.

Peluang yang masih mungkin dapat “dipaksakan” adalah dengan menisbatkan Otorita sebagai sebuah “badan” atau “lembaga” yang dibentuk dengan undang-undang. Apabila asumsi tersebut yang digunakan, mungkin saja benar bahwa Peraturan Otorita Ibu Kota Negara memiliki landasan, meskipun sangat dipaksakan.

Meskipun anggap saja itu sudah memiliki dasar, persoalannya adalah Peraturan Otorita yang diatur di dalam UU IKN harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Jika melihat substansinya, peraturan Otorita yang harus mendapatkan persetujuan DPR adalah terkait dengan pungutan pajak atau pungutan khusus. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below