Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Ketujuh Belas)

Oleh: Hernadi Affandi

Kedudukan Ibu Kota Nusantara yang dijadikan “pemerintahan daerah setingkat provinsi” menjadi tidak jelas jika dikaitkan dengan otoritanya yang dijadikan setingkat kementerian. Dalam hal ini, terdapat dua posisi dari Otorita Ibu Kota Nusantara, yaitu sebagai “pemerintahan daerah setingkat provinsi” dan “lembaga setingkat kementerian.”

Pasal 4 ayat (1) UU IKN menegaskan bahwa: Dengan Undang-Undang ini dibentuk: a. Ibu Kota Nusantara sebagai Ibu Kota Negara; dan b. Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai lembaga setingkat kementerian yang menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.

Selanjutnya, Pasal 5 ayat (4) UU IKN menegaskan bahwa: Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara merupakan kepala Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang berkedudukan setingkat menteri, ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR.

Dalam pemerintahan daerah provinsi, “kepalanya” disebut gubernur, sedangkan “wakil kepalanya” disebut wakil gubernur. Apabila mengikuti ketentuan sebagaimana pemerintahan daerah provinsi pada umumnya, semestinya kedua pejabat otorita tersebut juga diposisikan setingkat gubernur dan setingkat wakil gubernur.

Namun demikian, pemimpin Otorita Ibu Kota Nusantara yang nota bene setingkat provinsi yang disebut sebagai Kepala Otorita berkedudukan setingkat menteri. Jabatan tersebut menjadi tidak konsisten jika dikaitkan dengan kedudukan “pemerintahan daerah setingkat provinsi”, tetapi pejabatnya diberi kedudukan setingkat menteri.

Oleh karena itu, antara kedudukan pemerintahan daerah yang setingkat provinsi dengan pejabatnya yang setingkat menteri menjadi tidak seimbang. Dengan kata lain, antara jabatan dengan pejabatnya tidak sinkron karena justru pejabatnya diposisikan lebih tinggi daripada jabatannya itu sendiri.

Sementara itu, Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara tidak disebutkan apakah juga diposisikan setingkat menteri atau tidak. UU IKN hanya menyebutkan Kepala Otorita Nusantara yang diposisikan sebagai setingkat menteri, sedangkan kedudukan Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara tidak dijelaskan lebih lanjut.

Dengan demikian, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara sama dengan beberapa posisi setingkat menteri lainnya di jajaran Kabinet saat ini. Beberapa di antaranya adalah Jaksa Agung, Sekretaris Kabinet, Kepala Staf Kepresidenan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan lain-lain.

Pembentukan dan pengangkatan pejabat setingkat menteri untuk mengelola dan menyelenggarakan pemerintahan daerah di Ibu Kota Negara baru artinya menambah jumlah pejabat baru di Indonesia. Secara tidak langsung, Kabinet Indonesia Maju menjadi tambah “gemuk” dengan adanya penambahan jabatan baru tersebut.

Padahal, posisi tersebut dapat saja dipegang oleh menteri yang sudah ada dengan diberikan tugas tambahan sebagai pengelola dan penyelenggara Ibu Kota Negara baru. Apalagi Ibu Kota Negara baru bukan sebagai pemerintahan daerah yang sesungguhnya, tetapi hanya sebagai otorita yang setara dengan kawasan khusus bukan daerah khusus.

Berkaca kepada pengalaman masa lalu terkait dengan otorita contohnya adalah Otorita Batam yang kepalanya berada di bawah Presiden, tetapi tidak disebutkan “setingkat menteri” karena “hanya” mengelola kawasan khusus. Oleh karena itu, Kepala Otorita Ibu Kota Negara juga semestinya tidak ditempatkan sebagai pejabat setingkat menteri, tetapi cukup Kepala Otorita Ibu Kota Negara. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below