Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Kedua Puluh Dua)

Oleh: Hernadi Affandi

Penentuan akhir dalam memastikan apakah suatu pelanggaran HAM itu masuk ke dalam jenis dan bentuk pelanggaran HAM berat atau ringan berada di persidangan pengadilan. Artinya, proses persidangan akan menguji dan membuktikan pelanggaran HAM itu masuk ke jenis dan bentuk pelanggaran HAM yang mana apakah yang berat atau nonberat. Penentuan itu akan mengundang perdebatan yang sifatnya argumentatif dan saintifik antara penuntut umum, pengacara, saksi ahli, saksi, dan lain-lain dalam menentukan jenis dan bentuk pelanggaran yang terjadi.

Setelah itu baru hakim dalam persidangan itu yang akan memutus pelanggaran HAM mana yang sesuai dan terbukti berdasarkan semua alat bukti, keterangan saksi, saksi ahli, dan lain-lain. Dalam hal ini, pemilahan suatu pelanggaran HAM itu apakah termasuk pelanggaran HAM berat (kejahatan HAM) atau pelanggaran HAM nonberat (biasa, ringan, atau sedang) bukan pada saat dilakukan penyelidikan atau penyidikan. Kesimpulan tentang ada atau tidak adanya pelanggaran, jenis pelanggaran, bentuk pelanggaran, pihak yang terlibat dan bertanggungjawab, termasuk jenis dan bentuk hukuman, semuanya ditentukan dalam sidang.

Secara normatif, misalnya Pasal 1 angka 5 UU PHAM mendefinisikan “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindak lanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.” Artinya, tahapan penyelidikan baru untuk mencari dan menemukan (bukti awal) ada-tidaknya pelanggaran HAM. Jika ada bukti awal tersebut dapat dilanjutkan ke tahapan penyidikan, sebaliknya jika tidak ada atau tidak ditemukan alat bukti dapat dihentikan.

Berdasarkan pemikiran di atas, tahapan penyelidikan atau penyidikan belum saatnya menentukan apakah suatu pelanggaran HAM itu masuk ke dalam pelanggaran HAM berat atau nonberat, apalagi memastikan tidak ada pelanggaran HAM. Tugas penyelidikan adalah mengumpulkan alat bukti dan saksi pada tahap awal, sedangkan penyidikan mengumpulkan dan mendalami hasil dari penyelidikan. Artinya, penyelidik atau penyidik tidak memiliki kewenangan untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran, apalagi ”memutuskan” tidak ada pelanggaran HAM.

Semestinya, kewenangan penyelidik atau penyidik hanya sampai pada menghentikan penyelidikan atau penyidikan bukan memutuskan ada-tidaknya pelanggaran HAM. Apalagi jika kasus yang diselidikinya adalah persoalan besar yang menyita perhatian masyarakat yang memiliki indikasi pelanggaran HAM bahkan pelanggaran HAM berat (kejahatan HAM). Tindakan itu pasti akan mengundang tanda-tanya besar di kalangan masyarakat terhadap penyelidik atau penyidik tersebut terkait dengan kinerja, independensi, objektivitas, loyalitas, kapasitas, dan lain-lainnya.

Kejadian dalam praktik beberapa waktu lalu yang dilakukan oleh Komnas HAM, misalnya, menunjukkan bahwa masih dalam tahap penyelidikan tapi sudah menentukan bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat. Dalam hal ini, Komnas HAM seakan-akan berubah kewenangannya dari tahapan penyelidikan menjadi tahapan pemeriksan atau pengadilan, bahkan sudah “memutus” kasus tersebut sebelum dibawa ke pengadilan. Padahal, kasus yang ditangani oleh Komnas HAM tersebut merupakan kasus yang menjadi perhatian masyarakat luas karena adanya indikasi pelanggaran HAM.

Semestinya, ada-tidaknya pelanggaran HAM, atau pelanggaran HAM yang mana (berat, sedang, atau ringan) yang terjadi diputus dalam persidangan. Masyarakat kemungkinan besar akan menerima apapun putusannya dengan lapang dada jika sudah melalui proses yang jelas dan transparan. Tetapi, sebaliknya sekalipun yang mengumumkan adalah Komnas HAM sebagai lembaga yang kredibel di bidang HAM, masyarakat masih menyimpan pertanyaan terkait dengan kinerja, independensi, objektivitas, loyalitas, dan kapasitas dari Komnas HAM sendiri. Dalam hal ini, masyarakat punya hak untuk berpendapat dan bertanya seperti itu.

Keadaan itu semestinya tidak terjadi dalam penyelesaian pelanggaran HAM apapun jenis dan bentuknya. Para pihak terkait semestinya menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai dengan aturan main dalam undang-undang. Sebaliknya, apabila undang-undangnya belum memberikan kejelasan dan ketegasan dalam mengatur tugas dan kewenangan pihak-pihak tertentu sebaiknya undang-undang tersebut segera diubah dan diperbaiki. Kebutuhan akan undang-undang yang jelas dan tegas dalam membagi tugas dan kewenangan pihak-pihak terkait akan memperkuat upaya perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia.

Pembenahan terkait dengan tugas dan kewenangan pihak yang terlibat baik penyelidik, penyidik, penuntut, atau pemeriksa masing-masing dalam tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan penting dilakukan. Oleh karena itu, hukum acara pengadilan HAM ke depan juga perlu dibenahi dan diperbaiki, bahkan dilengkapi agar tidak terjadi kekosongan atau kesalahpahaman atas materi terkait. Misalnya, dalam konteks pelanggaran HAM, apalagi pelanggaran HAM berat, tidak perlu ada mekanisme penghentian penyidikan dalam bentuk surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atau setidaknya dilakukan secara ketat dan akuntabel.

Selain itu, hukum acara pengadilan HAM ke depan juga tidak semata-mata didasarkan kepada hukum acara pidana, tetapi juga dapat mengambil mekanisme dari hukum acara perdata, bahkan hukum acara tata usaha negara. Hal ini dengan catatan pengadilan HAM ke depan bukan lagi hanya untuk mengadili pelanggaran HAM berat, tetapi juga untuk pelanggaran HAM nonberat (ringan, sedang, atau biasa). Dalam pengadilan HAM “versi baru” orientasinya untuk menyelesaikan semua jenis dan bentuk pelanggaran HAM baik yang berat maupun nonberat (ringan, sedang, atau biasa), sehingga hukum acaranya sesuai dengan kebutuhan apakah terkait dengan HAM Sipol atau HAM Ekosob. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below