Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Kedua Puluh Empat)

Oleh: Hernadi Affandi

Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang HAM dapat diketahui bahwa pelanggaran HAM tidak selalu dikenakan sanksi pidana, tetapi dapat juga dijatuhi sanksi perdata bahkan sanksi administratif. Dengan kata lain, sanksi yang diancamkan atas pelanggaran HAM tidak harus selalu sanksi pidana apalagi hukuman mati. Dalam hal ini, sanksi yang dijatuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya jenis dan bentuk pelanggaran yang dilakukan. Hukuman bukan semata-mata untuk balas dendam terhadap pelakunya, tetapi juga untuk pembelajaran bagi pihak lainnya.

Pelanggaran HAM ada yang bersifat berat dan ada yang bersifat nonberat (ringan, sedang, atau biasa). Terhadap pelanggaran HAM berat (kejahatan HAM) dapat saja diancam dengan hukuman mati atau bentuk hukuman lainnya yang bersifa maksimal. Namun demikian, terhadap pelanggaran HAM nonberat ancamana sanksinya tidak harus hukuman mati, tetapi dapat saja berupa sanksi perdata atau bahkan sanksi administratif. Berbagai peraturan perundang-undangan sudah dan akan mengatur jenis dan bentuk pelanggaran HAM termasuk ancaman sanksi yang akan dijatuhkan apabila terjadi pelanggaran terhadapnya.

Ancaman terkait dengan jenis dan bentuk sanksi akan bergantung kepada banyak faktor bukan hanya kepada berat atau ringannya pelanggaran, tetapi juga faktor pendorong lainnya. Misalnya, pelanggaran HAM itu dapat saja terjadi karena kesengajaan, ketidaksengajaan, kelalaian, atau “hanya” membatasi HAM seseorang atau kelompok orang. Ancaman sanksi terhadap pelaku yang sengaja melakukan pelanggaran HAM, apalagi terhadap HAM berat, tentu akan berbeda jika tindakan tersebut dilakukan karena ketidaksengajaan atau kelalaian. Meskipun, hal itu juga harus diteliti lagi sejauhmana kesengajaan, ketidaksengajaan, kelalaian, atau pencabutan HAM tersebut.

Kata kunci dalam hal ini adalah menyelesaikan pelanggaran baik pelanggaran HAM Sipol maupun HAM Ekosob, baik pelanggaran yang berat maupun nonberat. Namun demikian, ancaman sanksi atau penjatuhan sanksi tersebut harus proporsional dan terukur. Oleh karena itu, berbagai aspek tersebut harus diatur di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan secara lebih jelas dan tegas sesuai dengan kebutuhan. Dengan kata lain, hukum materiil dan hukum formil atau hukum acaranya perlu diatur di dalam undang-undang secara komprehensif. Hal itu penting sebagai pedoman bagi para pihak dalam menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi.

Secara umum, materi muatan terkait dengan HAM sudah diatur di dalam UU HAM bahkan di dalam UUD 1945. Selain itu, berbagai peraturan perundang-undangan lain juga banyak yang mengatur terkait dengan HAM baik HAM Sipol maupun HAM Ekosob baik secara umum maupun secara khusus. Namun demikian, berbagai peraturan perundang-undangan tersebut masih mengutamakan sanksi pidana, sedangkan sanksi perdata atau sanksi administratif hampir tidak ada. Dengan kata lain, berbagai peraturan perundang-undangan yang ada menunjukkan bahwa orientasi sanksi masih lebih kepada balas dendam daripada pemulihan keadaan atas terjadinya pelanggaran HAM tersebut.

Menurut Penulis, keadaan itu antara lain disebabkan belum adanya ketentuan yang mengatur tentang HAM yang bersifat komprehensif disertai dengan pengaturan jenis sanksi jika terjadi pelanggaran terhadapnya. Meskipun UUD 1945 hasil perubahan kedua sudah mengatur atau menambahkan banyak jenis HAM baru di dalamnya, materi muatannya tidak sampai memerintahkan pengaturan lebih lanjut jika terjadi pelanggaran HAM atau setidaknya mengatur lebih lanjut tentang HAM ke dalam undang-undang. Oleh karena itu, materi muatan UUD 1945 yang terkait dengan HAM hanya merupakan inventarisasi dan penyebutan HAM semata-mata.

Keberadaan UU HAM yang berperan sebagai undang-undang payung di bidang HAM juga tidak mengatur terkait dengan jenis dan bentuk sanksi atas pelanggaran HAM. Di dalam UU HAM juga hanya berisi materi muatan yang merupakan inventarisasi dan menyebutkan jenis-jenis HAM tanpa menyediakan jenis dan bentuk sanksi jika ada pelanggaran HAM. Di dalam UU HAM hanya ada pedoman dalam penjatuhan sanksi, misalnya larangan hukuman perampasan seluruh harta kekayaan milik pelaku pelanggaran HAM, larangan penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan, dan  larangan hukuman mati atau hukuman seumur hidup untuk anak, dan lain-lain.

Dengan demikian, UU HAM sebagai payung hukum di bidang HAM tidak mengatur secara jelas dan rinci tentang jenis dan berat atau ringannya hukuman dalam hal suatu HAM itu dilanggar atau jika terjadi pelanggaran HAM. Bahkan, UU HAM juga tidak mengatur tentang kategorisasi suatu HAM itu masuk ke dalam HAM berat atau ringan, termasuk pelanggaran HAM berat atau pelanggaran HAM nonberat alias ringan, sedang, atau biasa. Pengaturan terkait dengan pelanggaran HAM pun hanya disebutkan secara umum tanpa membaginya ke dalam pelanggaran HAM berat atau pelanggaran HAM ringan. Hal itu kemudian menimbulkan perbedaan pendapat bahkan perdebatan dalam tataran praktik.

Ketentuan tentang pelanggaran HAM berat justru diatur di dalam UU PHAM yang merupakan ketentuan khusus dalam pembentukan pengadilan HAM. Di dalam UU PHAM tersebut selain diatur tentang pembentukan pengadilan HAM, diatur juga tentang hukum materiil dan hukum formil atau hukum acaranya. Model ini sebenarnya kurang lazim jika dibandingkan dengan undang-undang pembentukan pengadilan lainnya yang tidak berisi hukum materiil dan hukum formil atau hukum acara di dalamnya. UU pembentukan pengadilan biasanya hanya menyatakan pembentukan, wilayah hukum, dan hal-hal teknis lainnya, tetapi tidak berisi hukum materiil dan hukum formilnya. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below