Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Kedua Puluh Sembilan)

Oleh: Hernadi Affandi

Pelanggaran HAM yang termasuk ke dalam kategori HAM Ekonomi, Sosial dan Budaya (HAM Ekosob) hampir tidak pernah mendapatkan perhatian dan penyelesaian secara proporsional dan tuntas. Hal itu terjadi karena fokus perhatian semua pihak hanya ditujukan terhadap pelanggaran HAM di bidang HAM Sipol terutama yang merupakan pelanggaran HAM berat. Sebagai konsekuensinya, pelanggaran HAM yang tidak termasuk pelanggaran HAM berat menjadi dibiarkan begitu saja tanpa penyelesaian berarti. Padahal, aspek kehidupan manusia modern saat ini akan banyak berkaitan dengan semua aspek HAM bukan hanya HAM Sipol tetapi juka HAM Ekosob, sehingga tidak semestinya mengutamakan yang satu dan mengabaikan yang lain.

Persoalan lain yang menjadi faktor penyebab fokus penyelesaian pelanggaran HAM Ekosob kurang mendapatkan perhatian adalah karena pendekatan hukum yang digunakan selama ini lebih kepada perspektif hukum pidana. Dalam hal ini, pendekatan hukum yang dilakukan dalam penyelesaian pelanggaran HAM masih lebih mengutamakan pendekatan hukum pidana dibandingkan dengan pendekatan hukum lainnya, seperti hukum perdata atau hukum administrasi. Hal itu tampak terutama dalam menyelesaikan pelanggaran HAM Sipol yang masih didominasi oleh pendekatan hukum pidana. Hampir setiap pelanggaran HAM Sipol kasusnya dibawa ke pengadilan umum dan diproses sesuai dengan hukum pidana. Vonis atas pelanggaran HAM tersebut ujungnya adalah hukuman pidana karena lebih didasarkan kepada KUHP.

Padahal, penegakan HAM semestinya tidak selalu harus didasarkan atau melalui mekanisme hukum pidana, tetapi dapat juga melalui pendekatan hukum perdata, bahkan hukum administrasi. Pola pikir dan pendekatan hukum pidana sebenarnya tidak selalu tepat digunakan dalam upaya penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparatur negara (state actors) atau bukan aparatur negara (nonstate actors) akibat tidak menghormati, melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi HAM tidak selalu harus berakhir dengan hukuman pidana penjara apalagi hukuman mati. Dalam hal ini, pelanggaran HAM misalnya dapat saja dihukum tanpa harus dengan hukuman pidana, tetapi dapat dengan jenis atau bentuk sanksi lainnya.

Perspektif hukum pidana dalam penyelesaian segala jenis dan bentuk pelanggaran HAM bukan saja tidak tepat, tetapi juga sudah usang. Oleh karena itu, ke depan perlu ada pemetaan dan penataan ulang dalam sistem hukum di Indonesia dalam kaitannya dengan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Terlebih lagi dalam konteks HAM Ekosob jauh lebih penting pemenuhannya daripada memenjarakan pelanggarnya. Pelanggaran HAM yang diselesaikan dengan pemenjaraan tidak akan menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM itu sendiri, tetapi malah akan menjauhkan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM di dalam tataran praktik.

Dalam upaya mencapai tujuan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM semestinya yang lebih utama adalah terpenuhi dan terpulihkannya kondisi HAM yang dilanggar bukan dijatuhinya pelanggar HAM dengan hukuman penjara. Pemenjaraan pelaku pelanggaran HAM justru tidak menyelesaikan masalah akibat pelanggaran HAM tersebut malah justru akan menimbulkan masalah baru. Alih-alih penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM menjadi sarana efektif dalam upaya penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM, justru menjadi penyebab pelanggaran HAM itu terus berlangsung.

Dalam hal ini, orientasi penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah terpenuhinya hak seseorang yang mengalami pelanggaran HAM tersebut. Contohnya, jika ada seseorang yang tidak dapat memperoleh pelayanan kesehatan, pengobatan, jaminan sosial, dan pelayanan-pelayanan sosial lainnya, penyelesaiannya adalah dengan memberikan pelayanan kesehatan, pengobatan, jaminan sosial, atau pelayanan-pelayanan lainnya tersebut. Contoh lainnya, jika ada anggota masyarakat yang mengalami kesulitan dalam menikmati, mendapatkan, dan memperoleh jaminan pendidikan, penyelesaiannya adalah dengan memberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan tersebut. Dalam hal ini, penyelesaian pelanggaran tersebut tidak harus selalu hukum pidana.

Pemahaman tersebut tentu memerlukan perubahan pola pikir yang selama ini sudah mendarah daging dalam penegakan hukum di Indonesia, termasuk dalam penegakan HAM. Terdapat kesan bahwa dalam penegakan hukum itu harus selalu dengan penghukuman dalam bentuk hukuman penjara bahkan hukuman mati. Dalam konteks kekinian pola pikir tersebut harus ditinjau ulang karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang lebih mengedepankan HAM. Penyelesaian pelanggaran HAM semestinya tidak semata-mata didasarkan kepada atau dengan melakukan pembalasan dendam, tetapi justru yang jauh lebih penting adalah memulihkan keadaan atau terpenuhinya HAM korban itu sendiri.

Akibat pola pikir masyarakat yang menginginkan pelanggaran HAM harus selalu berakhir dengan pemenjaraan pelakunya adalah terbengkalainya berbagai kasus pelanggaran HAM. Penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia sampai saat ini masih berkutat dengan kasus-kasus pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum juga tuntas. Berbagai peristiwa pelanggaran HAM itu selalu menjadi bahan diskusi hampir setiap waktu tanpa ada ujungnya. Namun demikian, berbagai pelanggaran HAM yang dianggap pelanggaran HAM nonberat alias ringan, sedang, atau biasa justru dibiarkan terus terjadi tanpa ada penyelesaian. Pada akhirnya, baik pelanggaran HAM berat maupun HAM nonberat sama-sama dibiarkan tanpa penyelesaian akibat kesalahpahaman pola pikir tersebut. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below