Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Kedua Puluh Tujuh)

Oleh: Hernadi Affandi

Pengaturan materi HAM secara terintegrasi, harmonis, sistematis, kronologis, dan koheren ke dalam satu undang-undang dapat menggunakan model pengkitaban (kodifikasi) seperti yang dilakukan oleh Negeri Belanda di masa lalu. Contonya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUPer), atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Dalam hal ini, misalnya digunakan nama Kitab Undang-Undang Hukum Hak Asasi Manusia (KUHHAM). Sebaliknya, dalam konteks kekinian dapat pula dibentuk dengan model omnibus law yang mengatur secara lengkap dalam satu undang-undang semua aspek yang diperlukan baik hukum materiil maupun hukum formilnya.

Di dalam KUHHAM tersebut misalnya perlu diatur secara jelas, tegas, dan rinci mana yang termasuk jenis pelanggaran HAM berat atau lebih tepat kejahatan HAM, mana pula yang termasuk pelanggaran HAM nonberat alias pelanggaran HAM ringan, sedang, atau biasa, atau kriteria yang lainnya. Secara normatif, pengaturan jenis-jenis HAM tersebut kemudian diikuti dengan pengaturan sanksi tertentu apabila terjadi kejahatan atau pelanggaran terhadapnya sesuai dengan berat atau ringannya pelanggaran tersebut. Dengan demikian, setiap jenis HAM akan mendapatkan pengaturan, termasuk di dalamnya disediakan jenis dan bentuk sanksi jika terjadi pelanggaran terhadapnya.

Selain itu, di dalam KUHHAM tersebut perlu juga ada penegasan terkait dengan jenis kejahatan atau pelanggaran itu termasuk delik apa atau masuk ke mana. Misalnya, dengan menggunakan model KUHP dikenal ada delik biasa atau delik aduan, delik politik atau delik umum, delik khusus atau delik umum, delik kesengajaan atau delik kelalaian (kealpaan), dan lain-lain. Pengkitaban berbagai jenis delik tersebut ke dalam satu naskah akan memudahkan bagi pihak-pihak terkait dalam mencari dan menemukan ketentuan yang terkait dengan jenis dan bentuk pelanggaran atau kejahatan HAM termasuk sanksinya dalam hal terjadi pelanggaran atau kejahatan.

Namun demikian, dalam konteks HAM tentu tidak sepenuhnya akan sama seperti halnya dalam konteks hukum pidana seperti yang tertuang dalam KUHP karena keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Dalam konteks HAM, misalnya pelanggaran itu tidak harus selalu dengan kesengajaan atau kelalaian, tetapi dapat juga karena ketidaksengajaan, pembatasan, pencabutan, atau bahkan pembiaran. Pelaku pelanggaran HAM juga dapat diidentifikasi ke dalam pelaku yang merupakan aparatur negara (state actors), seperti pemerintah, aparatur sipil negara, birokrasi, militer, polisi, dan lain-lain. Selain itu, pelaku pelanggaran HAM juga dapat berasal di luar aparatur negara (nonstate actors) baik perorangan, masyarakat, kelompok, maupun korporasi.

Bahkan, pelanggaran HAM juga tidak selalu harus merupakan pelanggaran HAM berat, tetapi dapat juga pelanggaran HAM nonberat. Selama ini, secara normatif hanya pelanggaran HAM berat yang sudah diakomodasi di dalam undang-undang, khususnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU PHAM). Dengan demikian, ketentuan sanksinya hanya untuk jenis pelanggaran HAM berat apabila terjadi pelanggaran terhadapnya. Mekanisme penyelesaiannya sudah diatur di dalam undang-undang tersebut termasuk di dalamnya kriteria pelanggarannya diperlakukan seperti delik biasa atau bukan delik aduan. Pengertian delik biasa adalah delik tersebut dapat dituntut tanpa memerlukan laporan dari korban atau keluarganya jika terjadi pelanggaran HAM.

Dalam hal terjadi pelanggaran HAM berat seperti yang diatur di dalam UU PHAM pihak berwenang dapat langsung melakukan proses penyelidikan tanpa menunggu adanya laporan dari pihak tertentu baik dari masyarakat maupun dari korban atau keluarga korban. Mekanisme ini mengikuti mekanisme dalam penegakan hukum pidana yang termasuk sebagai delik biasa. Bahkan, penghukumannya pun mengikuti bentuk penegakan hukum pidana dengan menyediakan hukuman mati atau pidana penjara. Padahal, dalam konteks HAM di dunia internasional atau negara-negara tertentu, jenis hukuman mati sudah lama ditinggalkan karena justru dianggap melanggar HAM juga.

Sementara itu, dalam konteks pelanggaran HAM Ekosob misalnya akan lebih menonjol jenis delik aduan karena untuk memproses dan menuntutnya harus ada pengaduan dari pihak korban, keluarga korban, atau pihak yang dirugikan. Dalam hal ini, penegakan HAM Ekosob dapat saja menggunakan pendekatan hukum perdata di mana penyelesaiannya akan lebih banyak merupakan pelanggaran yang dilaporkan atau diajukan oleh pihak terkait yang merasa dirugikan, dilanggar, atau dipinggirkan hak-haknya. Oleh karena itu, pelanggaran dalam HAM Ekosob lebih bersifat memiliki anasir keperdataan dibandingkan dengan anasir pidana. Dengan kata lain, sanksi atas pelanggaran HAM Ekosob akan lebih banyak kepada pemulihan atau pemenuhan dari HAM tersebut daripada sanksi pidana atau penjara.

Selain itu, pelanggaran HAM juga dapat saja dikenakan sanksi administratif sepanjang menyangkut pelanggaran HAM prosedural. Secara umum, HAM prosedural artinya adalah hak yang berasal dari hukum atau prosedur administratif atau hak yang membantu dalam perlindungan atau penegakan hak substantif. Sementara itu, hak substantif artinya adalah hak yang dapat dilindungi atau ditegakkan oleh hukum atau hak yang lebih merupakan substansi daripada bentuk (semata-mata). Dalam hal ini, sanksi yang disediakan misalnya terkait dengan pemenuhan aspek administratif yang dilanggar atau dibatasi dengan memenuhi atau mengembalikan kepada keadaan semula seperti halnya sebelum terjadi pelanggaran.

Berdasarkan penjelasan di atas, penentuan jenis HAM secara jelas, tegas, dan rinci yang disertai dengan jenis dan bentuk sanksinya akan memudahkan dalam penerapan dan pelaksanaannya. Kebutuhan itu penting, bahkan mendesak dan tidak terhindarkan karena meskipun HAM sudah lama diakui dan dihormati, penegakannya belum benar-benar diimplementasikan dalam hal terjadi pelanggaran HAM terutama pelanggaran HAM nonberat. Ketimpangan dalam penegakan HAM akan berdampak negatif terhadap penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM secara keseluruhan. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below