Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Kedua Puluh)

Oleh: Hernadi Affandi

Restrukturisasi dan revitalisasi pengadilan HAM yang ada saat ini tentu akan berkaitan dengan banyak aspek karena akan mengubah mekanisme dan lembaga yang akan menyelesaikan pelanggaran HAM ke depan. Hal itu antara lain akan berkaitan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mulai dari undang-undang sampai dengan undang-undang dasar. Alasannya, perubahan mekanisme dan lembaga yang sifatnya fundamental akan menyangkut dasar hukum atau aturan main yang terkait dengannya. Oleh karena itu, perubahan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat dihindarkan.

Salah satu aspek penting sebagai awal dalam melakukan restrukturisasi dan revitalisasi adalah terkait dengan redefinisi pengertian pelanggaran HAM yang selama ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU PHAM). Kedua undang-undang tersebut hanya menyebutkan jenis pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat, tetapi kemudan pembagian tersebut menimbulkan perbedaan penafsiran di dalam tataran praktik.

Pengertian pelanggaran HAM yang diatur di dalam UU HAM sangat luas karena memasukkan semua jenis dan bentuk pelanggaran HAM. Sementara itu, UU PHAM menentukan pengertian pelanggaran HAM berat dengan merinci dan menyebutkan secara limitatif di dalamnya. Dengan demikian, jenis atau bentuk pelanggaran HAM yang diatur di dalam UU HAM, tetapi tidak dimasukkan ke dalam UU PHAM jauh lebih luas dan banyak lagi. Secara argumentum a contrario, pelanggaran HAM yang tidak termasuk kategori pelanggaran HAM berat adalah pelanggaran HAM nonberat alias ringan atau sedang.

Berdasarkan pengertian tersebut, artinya pelanggaran HAM akan sangat banyak dan beragam jenis dan bentuknya. Hampir semua aspek kehidupan manusia mulai dari bangun tidur sampai dengan tidur lagi akan berkaitan dengan HAM. Artinya, peluang terjadi pelanggaran HAM sangat besar dialami oleh seseorang atau suatu kelompok. Aspek HAM yang terkait dapat berupa HAM Sipil dan Politik (Sipol) atau HAM Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob). Dengan demikian, jika semua kasus pelanggaran HAM tersebut dibawa ke pengadilan HAM yang ada di bawah lingkungan peradilan umum akan menambah beban kinerjanya.

Salah satu bentuk restrukturisasi adalah dengan mengeluarkan pengadilan HAM dari lingkungan peradilan umum dan membentuk lingkungan peradilan sendiri, yaitu lingkungan peradilan HAM. Namun demikian, pemisahan pengadilan HAM ke dalam lingkungan peradilan yang berdiri sendiri masih tetap berada di bawah MA. Dengan demikian, lingkungan badan peradilan di bawah MA bertambah satu dari empat menjadi lima, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan lingkungan peradilan HAM.

Dengan restrukturisasi tersebut sekaligus juga melakukan revitalisasi pengadilan HAM yang ada selama ini. Pemisahan pengadilan HAM dari lingkungan peradilan umum bukan saja akan fokus dalam menangani dan menyelesaikan semua jenis dan bentuk pelanggaran HAM yang terjadi. Tetapi juga, pengadilan HAM akan mampu menangani dan menyelesaikan semua jenis dan bentuk pelanggaran HAM baik berupa pelanggaran HAM berat maupun pelanggaran HAM nonberat alias ringan atau sedang. Dengan demikian, semua jenis dan bentuk pelanggaran HAM akan terakomodasi dengan pengkhususan lembaga peradilannya dan tidak bercampur dengan kasus-kasus lain di lingkungan peradilan umum.

Restrukturisasi lainnya yang lebih besar adalah dengan melakukan perubahan badan peradilan secara keseluruhan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam hal ini, lingkungan peradilan HAM yang sudah berdiri sendiri dapat saja dimasukkan ke dalam lingkungan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Konstitusi (MK). Saat ini, MK memang tidak memiliki “akar” dan “batang” atau lingkungan peradilan di bawahnya. MK hanya ada pada level puncak tanpa ada mekanisme dan lembaga di bawahnya seperti halnya MA.

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Apabila lingkungan peradilan HAM jadi dibentuk, penempatannya dapat di bawah MK. Dengan demikian, MK bukan saja akan memiliki lingkungan peradilan di bawahnya, tetapi juga dapat mengakomodasi keberadaan pengadilan HAM sebagai lingkungan peradilan yang berdiri sendiri.

Penempatan lingkungan peradilan HAM di bawah MK secara akademik cukup logis karena MK merupakan lembaga penjaga konstitusi (the guardian of the constitution). Sebagai penjaga konstitusi, semestinya MK bukan hanya menjaga agar konstitusi dijalankan dan dijabarkan dengan baik ke dalam undang-undang, tetapi juga menjaga materi muatannya terjamin dan terpelihara dengan baik. Salah satu materi muatan konstitusi yang utama adalah HAM dan hak warga negara. Artinya, penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM dapat menjadi tanggung jawab MK, khususnya apabila terjadi pelanggaran HAM. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below