Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Keempat Puluh Dua)

Oleh: Hernadi Affandi

Pengakuan adanya kesederajatan antara wanita dengan pria dalam ikatan pernikahan di dalam konteks HAM Sipil juga diatur di dalam Pasal 51 UU HAM. Ketentuan tersebut menegaskan adanya hak dan tanggung jawab yang sama di antara isteri dengan suami. Pasal 51 ayat (1) UU HAM berbunyi sebagai berikut “Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama.”

Dalam hal ini, terdapat kesederajatan antara isteri (sebagai representasi wanita) dan suami (sebagai representasi pria), sehingga tidak ada kedudukan seperti atasan dan bawahan di antara isteri dengan suaminya di dalam suatu keluarga. Artinya, dalam konteks keluarga tidak ada dominasi oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya karena kedua pihak sama-sama memiliki kedudukan yang sederajat. Dengan demikian, dalam suatu keluarga salah satu pihak tidak dapat mengabaikan pihak lainnya, apalagi menafikan keberadaan pihak lain karena keduanya memiliki peran yang sama penting.

Adanya penyebutan atau adagium secara sosiologis dan kultural bapak sebagai “kepala keluarga” bukan berarti menempatkan ibu sebagai “anak buah bapak”, tetapi harus dimaknai sebagai berbagi peran. Peran tersebut terutama muncul dalam masyarakat paternalisitik yang menempatkan bapak (baca: pria) sebagai pihak yang lebih berperan di dalam keluarga. Namun demikian, ibu (baca: wanita) juga tidak kehilangan perannya dalam kehidupan suatu keluarga karena tanpa peran ibu suatu keluarga tidak akan berjalan dengan baik. Kehadiran ibu bukan merupakan pelengkap semata-mata, tetapi memberikan makna penting bagi sebuah keluarga.

Keberhasilan suatu keluarga tidak mungkin atau setidaknya sulit tanpa bantuan kedua belah pihak. Kehebatan seorang suami di dalam karir atau pekerjaan, misalnya, tidak akan terjadi tanpa keterlibatan isteri. Dalam masyarakat pun muncul adagium bahwa “seorang suami yang hebat pasti di belakangnya ada seorang isteri yang hebat pula” atau “di belakang suami yang sukses pasti ada isteri yang kuat mendukungnya”. Adagium tersebut sekaligus sebagai penyeimbang adagium bapak sebagai “kepala keluarga”. Artinya, kehebatan suami (baca: pria) belum tentu terwujud jika di belakangnya tidak ada seseorang yang mampu mendukung atau membantunya dengan sepenuh hati, yaitu isteri (baca: wanita).

Kesederajatan antara wanita dengan pria menjadi penting karena selama ini masih muncul kesan yang salah di kalangan masyarakat tertentu. Adanya anggapan bahwa wanita lebih rendah daripada pria atau sebaliknya pria lebih tinggi daripada wanita merupakan kisah klasik yang sulit dihapuskan dalam kultur masyarakat. Akibatnya, wanita lebih sering mendapatkan perlakuan yang kurang baik karena kedudukannya tersebut dan pria merasa menjadi pihak yang lebih berhak atas semuanya. Padahal, secara hakiki antara wanita dengan pria diciptakan sama termasuk juga dibekali hak dan kewajiban yang sama. Perbedaannya lebih kepada peran yang dipegang oleh masing-masing bukan kepada status atau kedudukannya.

Kesederajatan tersebut juga berlaku apabila suatu keluarga karena alasan tertentu harus berpisah satu sama lain. Pasal 51 ayat (2) UU HAM menegaskan bahwa “Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.” Penjelasan Pasal 51 ayat (2) UU HAM menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “tanggung jawab yang sama” adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada kedua orang tua dalam hal pendidikan, biaya hidup, kasih sayang, serta pembinaan masa depan yang baik bagi anak.

Dalam hal ini, suatu keluarga yang isteri dan suaminya sudah berpisah masih memiliki hak dan tanggung jawab yang sama terhadap anak atau anak-anaknya, kecuali keluarga tersebut tidak memiliki anak. Kewajiban sebagai orang tua tidak berakhir meskipun pernikahannya telah berakhir karena untuk kepentingan terbaik anak. Dalam hal ini, kedua orang tua yang sudah berpisah harus tetap memperhatikan dan bertanggung jawab atas biaya pendidikan, biaya hidup, dan biaya kebutuhan lainnya dari anak, termasuk kasih sayang terhadap anak untuk masa depan terbaik anaknya.

Selain itu, kesedarajatan antara wanita dengan pria sebagai mantan suaminya dalam urusan harta bersama ditegaskan di dalam Pasal 51 ayat (3) UU HAM. Sekalipun kedua belah pihak sudah berpisah, keduanya memiliki hak yang sama atas harta benda pernikahannya. Pasal 51 ayat (3) UU HAM berbunyi sebagai berikut “Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Dalam hal ini, terdapat kesederajatan antara wanita dengan pria dalam hal pembagian harta bersama atau harta gono-gini yang dihasilkan selama ikatan perkawinan terlepas dari siapa yang bekerja atau berpenghasilan. Catatan penting di sini adalah pembagian tersebut khusus untuk harta bersama atau harta gono-gini bukan untuk harta asal atau bawaan masing-masing karena harta asal atau bawaan tetap merupakan hak masing-masing. Pengecualian atas harta bersama dapat terjadi apabila sebelum pernikahan dilakukan perjanjian perkawinan yang mengatur tentang pemisahan penghasilan antara suami dan isteri. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below