Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Keempatbelas)

Oleh: Hernadi Affandi

Persoalan yang dihadapi dalam menyelesaikan pelanggaran HAM nonberat alias yang bersifat ringan, sedang, atau biasa adalah belum tersedianya mekanisme dan lembaganya. Akibatnya, HAM belum seutuhnya dihormati, dilindungi, dimajukan, ditegakkan, dan dipenuhi sebagaimana mestinya. Penyelesaian pelanggaran HAM masih lebih difokuskan kepada pelanggaran HAM berat karena sudah mendapatkan kejelasan dari segi aturan main dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Sementara itu, pelanggaran HAM nonberat belum mendapat perhatian sama sekali.

Kenyataan itu mengakibatkan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM di Indonesia menjadi belum utuh dan menyeluruh. Adanya perbedaan perhatian terhadap bagian HAM lainnya yang dianggap kurang penting untuk dihormati, dilindungi, dimajukan, ditegakkan, dan dipenuhi menjadi akar persoalan pelanggaran HAM akan terus terjadi di masyarakat. Keadaan itu juga ditunjang oleh belum adanya mekanisme dan lembaga yang disediakan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM nonberat, sehingga persoalannya menjadi bertambah kompleks.

Ketersediaan mekanisme dan lembaga yang memungkinkan terwujudnya penyelesaian pelanggaran HAM nonberat merupakan kata kunci dalam penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM di Indonesia secara utuh dan menyeluruh. Ketiadaan lembaga yang harus menyelesaikan pelanggaran HAM nonberat ditengarai menjadi faktor penyebab pelanggaran HAM tersebut masih terus terjadi di masyarakat. Kekosongan itu menjadi pemicu pelaku pelanggaran HAM nonberat menjadi terbiasa dan muncul anggapan bahwa hal itu bukan pelanggaran HAM karena tidak pernah dibawa ke pengadilan.

Secara ideal, seluruh pelanggaran HAM harus diselesaikan secara adil dan proporsional jika memang benar HAM itu harus dihormati, dilindungi, dimajukan, ditegakkan, dan dipenuhi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu sangat beralasan jika dikatakan bahwa penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM tidak mungkin terlaksana seutuhnya tanpa adanya proses dan lembaga yang menjaganya ketika terjadi pelanggaran HAM. Dengan kata lain, pelanggaran HAM nonberat juga harus mendapatkan perhatian dan penyelesaian dengan baik.

Namun, akibat ketiadaan lembaga tersebut secara sosiologis muncul anggapan bahwa pelaku pelanggaran HAM tersebut memiliki kekebalan alias tidak tersentuh oleh hukum. Pembiaran terjadinya pelanggaran HAM nonberat karena alasan belum adanya mekanisme dan lembaga yang disediakan untuk itu akan semakin membuka peluang terjadinya pelanggaran HAM. Hal itu terjadi karena pengertian pelanggaran HAM hanya dianggap untuk pelanggaran HAM berat, sedangkan untuk pelanggaran HAM nonberat seakan-akan tidak termasuk atau bukan pelanggaran HAM.

Padahal, pelanggaran HAM apapun bentuk, jenis, kualitas, atau kuantitasnya adalah tetap pelanggaran HAM juga. Kebiasaan melakukan pelanggaran HAM meskipun berupa pelanggaran HAM nonberat jika dibiarkan terus bukan saja akan mengganggu keberadaan HAM, tetapi juga akan terus menganggap remeh terhadap HAM itu sendiri. Konsekuensinya, HAM yang dianggap sebagai hak-hak manusia yang penting dan mendasar sebagai pemberian Tuhan pada saat kelahiran yang diperlukan untuk menjaga harkat dan martabat kemanusiaan menjadi kehilangan makna.

Keberadaan HAM yang diperlukan untuk memanusiakan manusia menjadi tidak ada artinya ketika pelanggaran terhadapnya dibiarkan terus terjadi. Keadaan itu semakin diperparah dengan membiarkan pelaku pelanggaran HAM tersebut bebas tanpa ada proses  hukum sebagaimana mestinya. Pelaku pelanggaran HAM karena “hanya” melakukan pelanggaran HAM nonberat menjadi makhluk yang bebas dari pertanggungjawaban. Padahal, pelaku pelanggaran HAM semestinya tidak dibiarkan bebas berkeliaran tanpa mempertanggungjawabkan perbuatan atau kesalahannya.

Oleh karena itu, pertanggungjawaban juga merupakan kata kunci dalam penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Pertanggungjawaban bukan saja agar HAM tersebut dihormati, dilindungi, dimajukan, ditegakkan, dan dipenuhi di dalam tataran praktik, tetapi juga apabila terjadi pelanggaran terhadapnya. Pelanggaran HAM sendiri memiliki dimensi yang luas baik pelaku, penyebab, jenis, kulitas, maupun kuantitasnya. Pelakunya dapat berupa aparat negara (state actors) maupun perorangan, masyarakat, kelompok, maupun korporasi (nonstate actors).

Dalam hal ini, pelaku pelanggaran HAM tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatan atau tindakannya secara hukum. Penyebab pelanggaran HAM sendiri bukan hanya kesengajaan tetapi juga kelalaian, mencabut, maupun membatasi HAM seseorag yang diatur di dalam undang-undang. Dalam hal ini, segala aspek yang terkait dengan pelanggaran HAM harus mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya agar upaya penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM dapat terwujud secara utuh dan menyeluruh.

Berdasarkan alasan tersebut tampaknya perlu dipikirkan ketersediaan mekanisme dan lembaga apabila terjadi pelanggaran HAM nonberat. Realisasi hal itu bukan hanya semata-mata menyediakan mekanisme dan lembaga yang akan menyelesaikan pelanggaran HAM, tetapi juga akan semakin membuktikan arti penting keberadaan HAM. Dengan kata lain, keberadaan lembaga tersebut dalam bentuk sebuah pengadilan HAM nonberat akan menjadi bukti bahwa HAM benar-benar sebagai hak-hak manusia yang penting dan mendasar sebagai pemberian Tuhan pada saat kelahiran yang diperlukan untuk menjaga harkat dan martabat kemanusiaan. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below