Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Keenam Belas)

Oleh: Hernadi Affandi

Kehadiran suatu lembaga peradilan yang akan menyelesaikan berbagai persoalan pelanggaran HAM nonberat tentu sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, gagasan untuk menyediakan mekanisme dan membentuk lembaga tersebut perlu menjadi bahan pemikiran bersama. Kehadiran mekanisme dan lembaga tersebut akan memenuhi kebutuhan dalam menyelesaikan persoalan HAM akibat terjadinya pelanggaran HAM nonberat. Selama ini, akibat ketiadaan mekanisme dan lembaga tersebut pelanggaran HAM nonberat masih sering terjadi baik dilakukan oleh pemerintah, aparatur negara, birokrasi, maupun individu, masyarakat, korporasi dan lain-lain.

Penyediaan mekanisme dan lembaga yang akan menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM nonberat, atau sementara disebut dengan pengadilan HAM nonberat, bukan untuk menambah pekerjaan yang sudah banyak. Persoalan HAM saat ini sudah menjadi pusat perhatian masyarakat pada tingkat nasional bahkan dunia, sehingga tidak mungkin lagi bermain-main dengan HAM apalagi melakukan pelanggaran HAM. Namun, sayang bahwa perhatian itu masih dalam tataran konsep dan di atas kertas karena dalam tataran praktik masih belum terwujud sepenuhnya terutama terkait dengan perlindungan dan penegakan HAM ketika terjadi pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM nonberat.

Keadaan itu terbukti ketika terjadi pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM nonberat, mekanisme untuk mempertahankan dan menyelesaikannya tidak ada. Demikian pula halnya, lembaganya juga belum tersedia meskipun sudah ada pengadilan HAM karena kewenangannya terbatas hanya untuk pelanggaran HAM berat. Dengan demikian, gagasan pembentukan pengadilan HAM nonberat akan menjadi saluran yang tepat dalam menyelesaikan kasus-kasu pelanggaran HAM nonberat pada masa yang akan datang.

Berkaitan dengan gagasan untuk menyediakan mekanisme dan lembaga pengadilan HAM nonberat tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian. Beberapa aspek tersebut dapat dikelompokkan antara lain ke dalam hal-hal yang bersifat substantif dan prosedural. Aspek substantif antara lain menyangkut hukum materiil dari HAM itu sendiri terutama peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang HAM baik secara khusus maupun umum. Sementara itu, aspek prosedural antara lain menyangkut aspek kelembagaan, kewenangan, hukum acara, sumberdaya manusia, dan lain-lain.

Pembagian tersebut mungkin belum sepenuhnya mewakili kebutuhan dalam persiapan pembentukan mekanisme dan lembaga pengadilan HAM nonberat. Namun demikian, aspek-aspek tersebut sebagai upaya awal untuk memudahkan pembagian fokus pekerjaan dan perhatian karena keduanya tentu saja tidak dapat dipisahkan secara tegas (zakelijk). Aspek substantif atau prosedural sama-sama penting karena akan selalu berkaitan satu sama lain. Keduanya hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan karena yang satu akan berpengaruh kepada yang lain atau sebaliknya yang satu dipengaruhi oleh yang lain.

Salah satu aspek penting dalam persiapan pengadilan HAM nonberat adalah perlu melakukan redefinisi beberapa pengertian sebagaimana yang sudah diatur dan ditegaskan dalam peraturan perundang-undanga terkait sebagai hukum positif saat ini yang mengatur tentang HAM. Penyesuaian terutama penting dilakukan khususnya terhadap materi muatan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU PHAM). Ketentuan tersebut misalnya terkait dengan definisi HAM, pelanggaran HAM, pengadilan HAM, dan lain-lain.

Pasal 1 angka 1 UU HAM mengatur tentang definisi HAM itu apa, dari mana, untuk apa, bagaimana, dan mengapa. Definisi tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Namun, menurut hemat Penulis definisi itu belum menjawab konkretnya HAM itu apa, karena justru mengaitkannya dengan aspek lain termasuk dengan pihak-pihak tertentu. Akibatnya, hal itu mengaburkan makna HAM itu sendiri, karena belum utuh menggambarkan HAM yang sesungguhnya. Dengan kata lain, definisi tersebut belum menjawab secara operasional tentang apa itu HAM. Konsekuensinya, hal itu berdampak secara langsung atau tidak langsung terhadap penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM itu sendiri.

Bahkan, penggunaan kata kunci “penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM” juga belum sama dan konsisten untuk semua peraturan perundang-undangan. UUD 1945 sendiri menggunakan kata kunci “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan” sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Namun, di dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 disebutkan juga kata kunci lainnya, yaitu “pengakuan serta penghormatan”. Kedua kata kunci tersebut belum terakomodasi di dalam Pasal 28I ayat (4) bahkan hanya digunakan untuk “setiap orang” bukan untuk tanggung jawab negara atau pemerintah.

Demikian pula halnya di dalam Pasal 8 UU HAM digunakan kata kunci seperti di dalam UUD 1945, yaitu “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan”. Namun, Pasal 71 UU HAM juga menggunakan kata kunci tersebut dalam bentuk kata kerja dan bukan dalam bentuk kata benda, termasuk agak berbeda jumlahnya dengan yang sudah dicantumkan di dalam Pasal 8 tersebut. Pasal 71 UU HAM menggunakan kata kunci “menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan”. Dengan demikian, Pasal 71 tersebut justru tidak mencantumkan kata kunci “memenuhi” sebagai padanan dari kata kunci “pemenuhan” dalam kata bendanya. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below