Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Kelima Puluh Empat)

Oleh: Hernadi Affandi

Sementara itu, Pasal 66 ayat (7) UU HAM secara khusus memerintahkan proses peradilan terhadap anak dilakukan di dalam atau di depan pengadilan anak. Adapun Pasal 66 ayat (7) UU HAM berbunyi sebagai berikut “Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.” Dalam hal ini, hak-hak anak juga perlu dipertahankan dari kemungkinan terjadinya pelanggaran dari siapapun termasuk dari lingkungan keluarga terdekatnya.

Secara normatif, penyelesaian terhadap pelanggaran HAM anak tidak dilakukan di dalam atau di depan pengadilan HAM apalagi di dalam pengadilan HAM berat. Meskipun ada ketentuan yang menegaskan bahwa pelanggaran terhadap hak anak dapat diadili di pengadilan HAM berat, kasusnya harus yang terkait dengan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Akibat genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan korbannya dapat siapa saja termasuk anak, sehingga penghukuman terhadap pelakunya dilakukan di depan pengadilan HAM berat.

Namun demikian, proses peradilan tersebut bukan secara khusus dalam rangka mempertahankan hak-hak anak apabila terjadi pelanggaran terhadapnya. Dalam hal itu proses hukum yang dilakukan adalah dalam rangka mengadili pelaku pelanggaran HAM berat berupa genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan dengan korbannya antara lain anak. Fokus utamanya bukan kepada perlindungan dan penegakan hak-hak anak, tetapi untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM berat. Dengan kata lain, pelanggaran yang terjadi dalam kasus genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan dengan korban anak.

Ketentuan yang mengatur HAM anak tidak serta-merta dapat dipertahankan di dalam pengadilan HAM yang sudah ada. Penyelesaian terhadap pelanggaran HAM anak justru lebih banyak dibawa ke pengadilan khusus anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Dengan demikian, nuansa penyelesaiannya bukan dengan mengutamakan pendekatan HAM, tetapi lebih mengedepankan perspektif hukum pidana. Segala bentuk pelanggaran terhadap hak anak lebih diutamakan dengan menghukum pelakunya daripada memperhatikan keterpenuhan hak anak itu sendiri.

Keberadaan pengadilan anak sudah ada sejak dikeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak (UU PA) yang disahkan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 3 Januari 1997. Undang-undang tersebut saat ini sudah tidak berlaku karena sudah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penamaan kedua undang-undang tersebut berbeda karena materi muatannya juga memiliki banyak perbedaan, meskipun yang utama adalah mekanisme penyelesaian pelanggaran hak anak.

Secara normatif, UU HAM menegaskan bahwa “setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.” Dalam hal ini, muncul pertanyaan apakah nama “Pengadilan Anak” itu merupakan lembaga pengadilan atau proses peradilan. Secara faktual, “Pengadilan Anak” merupakan lembaga pengadilan yang khusus untuk anak terlepas masalahnya terkait dengan penegakan HAM anak atau bukan. Dengan kata lain, Pengadilan Anak bukan untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM anak.

Sebagai hukum positif yang terkait dengan pengadilan anak saat ini adalah UU SPPA bukan UU PA, meskipun namanya tidak disebut dengan pengadilan anak. Oleh karena itu, sebagai bahan pembelajaran dan perbandingan, kedua undang-undang tersebut perlu dipelajari dan dikritisi kembali, sehingga dapat menemukan kelebihan atau kekurangannya. Meskipun tujuan kedua undang-undang tersebut untuk melindungi dan mengayomi anak, fokusnya bukan untuk mengadili pelanggaran HAM anak. Justru kehadiran Pengadilan Anak adalah untuk mengadili anak yang bermasalah atau berhadapan dengan hukum.

Adapun alasan pembentukan pengadilan anak menurut UU PA adalah dalam rangka membina dan melindungi anak. Hal itu antara lain ditegaskan di dalam konsiderans menimbang huruf b UU PA yang berbunyi sebagai berikut: “bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus”. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below