Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Kelima Puluh Enam)

Oleh: Hernadi Affandi

Dalam perjalanannya, UU PA kemudian dianggap tidak sesuai dengan keadaan dan kurang lengkap, sehingga diganti dengan UU SPPA. Alasan itu tampak antara lain di dalam konsideran menimbang huruf d UU SPPA yang berbunyi sebagai berikut: “bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan pelindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru.”

Sementara itu, Penjelasan Umum UU SPPA menjelaskan: “Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan hukum agar Anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada Anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun, dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan Anak.”

Selanjutnya, Penjelasan Umum UU SPPA menjelaskan: “Selain itu, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan pelindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan Anak serta memberikan pelindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum.”

Keberadaan UU SPPA sebagai pengganti UU PA memiliki materi muatan yang jauh lebih lengkap dan komprehensif dengan dimasukkannya beberapa hal baru yang sebelumnya tidak diatur di dalam UU PA. Materi muatan baru tersebut antara lain adalah penempatan anak di lembaga pembinaan khusus anak, pengaturan keadilan restoratif dan diversi, peran serta pihak dalam mewujudkan keadilan restoratif dan diversi. Dengan demikian, UU SPPA sebagai hukum positif baru yang mengatur pengadilan anak diharapkan akan menjadi aturan main baru yang lebih komprehensif dalam melakukan perlindungan terhadap anak.

Penjelasan Umum UU SPPA selanjutnya menjelaskan sebagai berikut: “Adapun substansi yang diatur dalam Undang-Undang ini, antara lain, mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.”

Selanjutnya, Penjelasan Umum UU SPPA menjelaskan: “Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.”

Adapun pengertian restoratif ditegaskan di dalam Pasal 1 angka 6 UU SPPA sebagai berikut: “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.” Sementara itu, pengertian diversi diatur di dalam Pasal 1 angka 7 UU SPPA sebagai berikut: “Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.”

UU SPPA tidak dinamakan dengan UU PA karena aspek yang diatur jauh lebih luas bukan hanya proses peradilan semata-mata, tetapi juga penyelidikan, bahkan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Hal itu sebagai perluasan dari pengertian pengadilan anak yang hanya memasukkan proses persidangan semata-mata. Ketentuan tersebut ditegaskan di dalam Pasal 1 angka 1 UU SPPA sebagai berikut: “Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.”

Selanjutnya, di dalam UU SPPA ditegaskan beberapa pengertian anak, yaitu anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi dalam tindak pidana. Ketentuan seperti itu tidak diatur di dalam UU PA, sehingga ketentuan tersebut sekaligus menegaskan anak bukan sebagai objek tetapi sebagai subjek. Pasal 1 angka 2 UU SPPA menegaskan bahwa Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below