Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Kelima Puluh Tujuh)

Oleh: Hernadi Affandi

Sementara itu, Pasal 1 angka 3 UU SPPA menjelaskan pengertian “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.” Selanjutnya, Pasal 1 angka 4 UU SPPA menjelaskan pengertian “Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.”

Terakhir adalah pengertian anak yang menjadi saksi sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka 5 UU PA. Selengkapnya, Pasal 1 angka 5 UU PA berbunyi sebagai berikut: “Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.” Dengan demikian, anak bukan hanya dalam pengertian sebagai pelaku, tetapi juga sebagai korban dan saksi.

Salah satu materi muatan baru di dalam UU SPPA adalah dengan ditegaskannya asas-asas dalam SPPA sebanyak 10 buah. Selengkapnya, Pasal 2 UU SPPA berbunyi sebagai berikut: Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas: a. pelindungan; b. keadilan; c. nondiskriminasi; d. kepentingan terbaik bagi Anak; e. penghargaan terhadap pendapat Anak; f. kelangsungan pembinaan dan pembimbingan Anak; g. hidup dan tumbuh kembang Anak; h. proporsional; i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan j. penghindaran pembalasan.

Sebagai salah satu perwujudan pengakuan anak sebagai subjek adalah diakuinya hak-hak anak di dalam UU SPPA. Hal itu ditegaskan di dalam Pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut: Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak: a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; b. dipisahkan dari orang dewasa; c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. melakukan kegiatan rekreasional; e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

Selanjutnya adalah: g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; i. tidak dipublikasikan identitasnya; j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak; k. memperoleh advokasi sosial; l. memperoleh kehidupan pribadi; m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; n. memperoleh pendidikan; o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hak anak yang diatur di dalam UU SPPA bukan hanya dalam proses peradilan, tetapi juga dalam menjalani masa pidana. Hal itu ditegaskan di dalam Pasal 4 UU SPPA yang berbunyi sebagai berikut: (1) Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak: a. mendapat pengurangan masa pidana; b. memperoleh asimilasi; c. memperoleh cuti mengunjungi keluarga; d. memperoleh pembebasan bersyarat; e. memperoleh cuti menjelang bebas; f. memperoleh cuti bersyarat; dan g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Anak yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada bagian sebelumnya sudah diuraikan bahwa UU SPPA menekankan adanya proses keadilan restoratif. Hal itu ditegaskan di dalam Pasal 5 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Adapun Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Selanjutnya: (2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini; b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan. (3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.

Adapun pengertian diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Sementara itu, tujuan diversi ditegaskan di dalam Pasal 6 UU SPPA sebanyak 5 buah yang secara substantif intinya melindungi kepentingan anak. Selengkapnya, Pasal 6 UU SPPA berbunyi sebagai berikut: Diversi bertujuan: a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below