Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Kesebelas)

Oleh: Hernadi Affandi

Istilah pelanggaran HAM nonberat sementara digunakan untuk menyebutkan jenis pelanggaran HAM yang belum terakomodasi di dalam pengertian pelanggaran HAM berat. Secara teknis, jenis atau bentuk pelanggaran HAM yang bukan pelanggaran HAM berat dapat dimasukkan ke dalam pelanggaran HAM nonberat. Pelanggaran HAM berat baik kejahatan genosida maupun kejahatan terhadap kemanusiaan sudah ditentukan jenis dan jumlahnya secara enumeratif dan limitatif di dalam Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU PHAM).

Namun, jenis dan jumlah pelanggaran HAM nonberat tidak disebutkan secara eksplisit, bahkan dikenalpun tidak. Padahal, pelanggaran HAM nonberat secara kuantitas pasti akan lebih banyak jika dibandingkan dengan pelanggaran HAM berat. Segala aspek, bentuk, atau tindakan berupa pelanggaran terhadap HAM mungkin saja termasuk ke dalam pelanggaran HAM nonberat (ringan atau sedang). Dengan demikian, pelanggaran HAM selain yang dikategorikan sebagai kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan akan masuk ke dalam jenis pelanggaran HAM nonberat.

Secara normatif, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) telah membatasi pula adanya HAM tertentu yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 4 UU HAM berbunyi sebagai berikut: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”

Di dalam penjelasan Pasal 4 UU HAM tersebut dijelaskan bahwa “Yang dimaksud dengan “dalam keadaan apapun” termasuk keadaan perang, sengketa senjata, dan atau keadaan darurat. Yang dimaksud dengan “siapapun” adalah Negara, Pemerintah dan atau anggota masyarakat. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Secara argumentum a contrario, seluruh HAM yang tidak termasuk ke dalam “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut” dapat dikurangi dalam keadaan tertentu dan oleh siapapun. Di dalam praktik, rumusan Pasal 4 UU HAM dapat ditafsirkan secara berbeda, terutama oleh pihak tertentu yang berpotensi melakukan pelanggaran HAM.

Apabila penafsiran atau pemahaman pihak tertentu tersebut tidak diluruskan pasti akan menimbulkan persoalan di dalam penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, ruang lingkup HAM yang demikian luas dan beragam jenisnya memiliki potensi akan mengalami pelanggaran. Secara kategoris, pelanggaran terhadap HAM di luar HAM yang disebutkan di dalam Pasal 4 UU HAM tersebut dapat berupa baik pelanggaran HAM berat maupun pelanggaran HAM nonberat alias ringan atau sedang.

Kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM baik yang berat atau nonberat terhadap HAM di luar yang sudah disebutkan di atas dapat saja terjadi karena beberapa alasan teknis. Apabila jenis dan jumlah pelanggaran HAM berat terbatas, sedangkan jenis dan jumlah pelanggaran HAM nonberat tidak terbatas. Selain itu, pelaku pelanggaran HAM berat juga mungkin terbatas, akan tetapi pelaku pelanggaran HAM nonberat tidak terbatas. Oleh karena itu, potensi pelanggaran HAM nonberat akan jauh lebih banyak dan luas karena berpotensi dilakukan oleh siapa saja.

Dalam hal ini, pelanggaran HAM nonberat sangat mungkin dilakukan baik oleh para penyelenggara negara dan pemerintahan (state actors) maupun oleh bukan aparatur negara (non-state actors). Dengan demikian, semua pihak memiliki potensi menjadi pelaku pelanggaran HAM nonberat baik perorangan, kelompok, bahkan korporasi. Sepanjang pihak-pihak tersebut melakukan tindakan baik disengaja, tidak disengaja, kelalaian, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dapat menjadi pelaku pelanggaran HAM nonberat tersebut.

Bentuk pelanggaran HAM nonberat mungkin saja mulai dari hal yang dianggap sepele sampai dengan hal yang serius sepanjang tidak termasuk ke dalam pelanggaran HAM berat. Kriteria tersebut sebagai pedoman umum karena sampai saat ini memang belum ada ketentuan secara normatif di dalam peraturan perundang-undangan. Penentuan dan penetapan kriteria pelanggaran HAM nonberat memang masih memerlukan penelitian dan pengkajian yang mendalam. Hal itu penting agar terdapat kesamaan pandangan dan penerapannya dalam tataran praktik.

Secara ideal, segala jenis dan bentuk pelanggaran HAM harus dikurangi bahkan dihilangkan sama sekali. Upaya penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM pasti akan terganggu apabila masih ada pelanggaran-pelanggaran HAM sekecil apapun apalagi yang berat atau besar. Selain itu, gangguan juga dapat terjadi apabila segala pelanggaran HAM tersebut tidak mendapatkan penyelesaian secara tuntas dan adil melalui proses secara hukum. Hal itu bukan saja akan mengganggu upaya penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM, akan tetapi juga akan merusak HAM itu sendiri. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below