Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Kesembilan Belas)

Oleh: Hernadi Affandi

Keberadaan pengadilan HAM yang bersifat permanen dan ad hoc secara terpisah sebenarnya kurang efektif dan efisien, terlebih lagi jika nanti dibentuk pengadilan HAM nonberat. Oleh karena itu, pengadilan HAM tersebut harus diintegrasikan secara utuh dan menyeluruh agar dapat mengadili semua jenis dan bentuk pelanggaran HAM mulai dari pelanggaran HAM berat, sedang, atau, ringan. Dalam hal ini, pembatasan dari segi waktu juga dapat dihilangkan. Artinya, pelanggaran HAM yang dapat diajukan tidak terbatas apakah sebelum atau setelah UU PHAM dikeluarkan.

Pembagian terkait dengan materi pelanggaran mana yang akan disidangkan atau diproses hanya akan bersifat teknis saja sesuai dengan pengajuan dari pihak penuntut umum. Misalnya, kasus pelanggaran HAM yang diajukan adalah pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu sebelum UU PHAM dikeluarkan. Demikian pula halnya, pelanggaran HAM yang diajukan adalah pelanggaran HAM nonberat (sedang, ringan, atau biasa) yang terjadi setelah keluarnya UU PHAM. Dengan demikian, pelanggaran HAM yang diajukan dapat yang bersifat berat, sedang, atau ringan.sesuai dengan jenis pelanggarannya, tetapi pengajuannya kepada pengadilan yang sama.

Perbedaan jenis pelanggaran HAM yang diajukan dan diproses tersebut akan membawa konsekuensi kepada pihak berwenang, misalnya dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan. Dalam UU PHAM antara lain ditegaskan bahwa penyelidikan pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Selanjutnya, UU PHAM menegaskan bahwa penyidikan perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Selain itu, UU PHAM juga menegaskan bahwa penuntutan perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.

Sementara itu, UU PHAM juga menegaskan bahwa pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM. Pemeriksaan perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Selanjutnya, UU PHAM juga menegaskan bahwa hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Dengan demikian, terdapat kekhususan dalam proses penanganan pelanggaran HAM berat baik dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan,maupun pemeriksaan.

Berbeda halnya dengan pelanggaran HAM berat, penanganan pelanggaran HAM nonberat tentu berbeda dengan mekanisme penanganan yang sudah ada. Dalam pelanggaran HAM nonberat dapat saja terjadi “penurunan level” pejabat atau instansi yang menanganinya baik dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan. Misalnya, penyelidikan tidak harus langsung oleh Komnas HAM, tetapi oleh penyelidik yang dibentuk oleh Komnas HAM atau penyelidik yang sudah ada saa ini. Penyidikan juga tidak harus langsung Jaksa Agung, tetapi oleh jajaran instansi Kejaksaan Agung mulai dari Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, sampai Kejaksaan Agung.

Sementara itu, pemeriksaan dapat dilakukan oleh Pengadilan HAM yang sudah ada saat ini atau dibentuk lagi Pengadilan HAM yang berbeda dan di luar lingkungan peradilan umum. Selama ini, Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM ad hoc berada di lingkungan peradilan umum mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, sampai dengan MA. Pada saat pembentukan Pengadilan HAM (berat) berdasarkan UU PHAM hanya baru dibentuk 4 (empat) Pengadilan HAM di 4 (empat) pengadilan negeri, yaitu di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makasar, tetapi mencakup untuk seluruh daerah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

UU PHAM membagi daerah hukum Pengadilan HAM tersebut sebagai berikut: a. Jakarta Pusat yang meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Propinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah; b. Surabaya yang meliputi Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur; c. Makasar yang meliputi Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya; d. Medan yang meliputi Propinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi, dan Sumatera Barat.

Secara konseptual, lembaga peradilan yang akan menangani pelanggaran HAM, yaitu Pengadilan HAM, ke depan dapat saja berubah bukan lagi berada di lingkungan peradilan umum, tetapi dibuat khusus lingkungan peradilan HAM. Dengan kata lain, terjadi pemisahan dan pemecahan dari lingkungan peradilan umum menjadi lingkungan yang berdiri sendiri. Konsep ini antara lain didasarkan kepada alasan bahwa lingkungan peradilan umum selama ini sudah sangat berat bebannya dalam menangani berbagai tindak pidana pelanggaran dan kejahatan dan lain-lain. Jika pelanggaran HAM masih ditangani di lingkungan peradilan umum pasti akan menambah lagi beban kinerjanya.

Persoalannya tentu akan berkaitan dengan hukum positif yang sudah menegaskan hanya ada 4 (empat) lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha Negara. Seluruh lingkungan peradilan tersebut menginduk dan berpuncak kepada MA sebagai pengadilan tertinggi dari seluruh proses peradilan di lingkungan-lingkungan peradilan tersebut di Indonesia. Artinya, Pengadilan HAM yang akan dibentuk dengan “konsep baru” akan menambah beban kinerja MA secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu dicari jalan untuk mengurangi beban tersebut dengan melakukan restrukturisasi dan revitalisasi. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below