Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Ketiga Puluh Delapan)

Oleh: Hernadi Affandi

Pemberian ganti kerugian terhadap korban pelanggaran HAM dalam bentuk kompensasi, restitusi, dan rehabilitas sebagaimana diatur di dalam UU PHAM perlu diberikan catatan tambahan. Ketentuan tersebut ke depan dapat saja diubah dan diperkuat bahwa kompensasi, restitusi, atau rehabilitasi merupakan kewajiban dari pihak pelaku termasuk negara jika pelakunya adalah aparatur negara (state actors). Demikian pula halnya, apabila pelakunya adalah bukan aparatur negara (non-state actors), seperti individu, masyarakat, atau korporasi ketentuan tersebut dapat ditegaskan sebagai kewajiban dari pihak-pihak tersebut.

Perbedaannya dapat ditekankan bahwa jika pelakunya adalah negara melalui aparatur negara (state actors) yang sedang menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, pihak yang dikenakan kewajiban untuk memberikan kompensasi itu adalah negara. Sebaliknya, jika pelakunya adalah aparatur negara, tetapi bukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai aparatur negara, kewajiban memberikan kompensasi tersebut harus ditanggung secara pribadi oleh pelakunya. Dalam hal ini, oknum aparatur negara tidak dapat berlindung di balik baju seragam aparatur negara jika melakukan pelanggaran dalam kapasitas pribadi.

Demikian pula halnya, jika pelakunya adalah bukan aparatur negara (nonstate actors) seperti individu, kelompok, atau korporasi. Pihak yang harus menanggung kompensasi adalah pelaku itu dan uangnya berasal dari pelaku sendiri dan bukan berasal dari negara. Hal ini juga menjadi bahan pembelajaran bagi pihak individu, masyarakat, atau korporasi jika melakukan pelanggaran HAM harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat pelanggaran HAM tersebut. Dalam hal ini, negara tidak perlu turut bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan oleh bukan aparatur negara dengan memberikan kompensasi.

Selain itu, dalam konteks pelanggaran HAM nonberat pengenaan ketiga alternatif itu dapat dijadikan sebagai pilihan utama dan pertama. Artinya, pelanggaran HAM nonberat lebih difokuskan kepada pemberian ganti kerugian kepada korban atau pemulihan keadaan daripada menghukum pelakunya. Hal itu sekaligus juga sebagai pembelajaran kepada para pelaku pelanggaran HAM jika melakukan pelanggaran HAM bukan saja dapat dikenakan hukuman pidana atau penjara, tetapi juga kewajiban lain tersebut. Segala akibat dari tindakan yang berpotensi terjadi pelanggaran HAM harus dipertangungjawabkan oleh pelakunya.

Pembebaban kewajiban untuk menanggung kompensasi, restitusi, atau rehabilitasi dalam hal terjadi pelanggaran HAM nonberat juga akan menjadi pembelajaran bahwa sekecil apapun pelanggaran HAM akan memiliki akibat yang harus ditanggung oleh pelakunya. Cara ini diharapkan akan lebih efektif dalam mengurangi potensi terjadinya pelanggaran HAM nonberat ke depan. Dalam hal ini, semua pihak diharapkan akan lebih menghormati, melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi HAM daripada melakukan pelanggaran dengan berbagai jenis dan bentuknya.

Oleh karena itu, penyelesaian pelanggaran HAM nonberat tidak cukup dengan menghukum pelakunya, tetapi lebih baik memenuhi HAM pihak yang dilanggar. Pengenaan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi dalam pelanggaran HAM nonberat ke depan akan lebih memberikan keadilan kepada pihak korban daripada sekedar menghukum pelanggarnya. Dengan demikian, penyelesaian pelanggaran HAM nonberat akan lebih mengutamakan terpenuhinya HAM korban daripada menggunakan pendekatan hukuman semata-mata apalagi hanya dengan menghukum pidana penjara.

Pendekatan tersebut akan lebih memberikan rasa keadilan sekaligus juga lebih realistis karena lebih mengutamakan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Contohnya, pelanggaran HAM yang bersifat membatasi hak seseorang atau kelompok orang dalam memperoleh atau menjalankan HAM tertentu akan lebih tepat dan adil jika sanksinya adalah mewajibkan pelaku untuk memenuhi HAM tersebut. Demikian pula halnya, pelanggaran HAM yang terjadi karena kelalaian pelakunya akan lebih adil jika akibat yang muncul dari kelalaian tersebut diselesaikan atau dipenuhi oleh pelakunya.

Pendekatan dengan fokus lebih mengutamakan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM merupakan aspek yang penting sebagai “pendekatan HAM”. Selama ini, pendekatan dalam penyelesaian pelanggaran HAM lebih mengutamakan pendekatan hukum pidana yang memiliki cara pandang dan karakteristik yang berbeda. Penggunaan pendekatan HAM sebagai hal yang baru, khususnya dalam penyelesaian pelanggaran HAM nonberat, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan perbedaan pendapat. Oleh karena itu, penggunaannya harus dilakukan secara hati-hati dan proporsional.

Pendekatan HAM dengan pembebanan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada pelaku pelanggaran HAM tidak perlu dipertentangkan dengan pendekatan hukum pidana yang sudah ada selama ini. Sebaliknya, kedua pendekatan tersebut justru dapat digunakan secara sinergis dan paralel, sehingga akan saling memperkuat dan mengisi satu sama lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Sinergitas antara pendekatan HAM dengan pendekatan hukum pidana justru akan memperkuat upaya penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.

Penggunaan pendekatan HAM tersebut tentu masih memerlukan pengetahuan, pengertian, dan pemahaman dari semua pihak. Hal ini masih merupakan sesuatu yang baru dan belum populer untuk semua kalangan baik di kalangan akademisi, praktisi, politisi, maupun masyarakat awam. Namun demikian, penggunaan pendekatan HAM bukan tidak mungkin ke depan diterapkan di Indonesia secara lebih komprehensif sebagai faktor penting dalam upaya penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM di Indonesia. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below