Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Ketiga Puluh Empat)

Oleh: Hernadi Affandi

Secara normatif, Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU PHAM) telah mengatur pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi khusus dalam konteks pelanggaran HAM berat. Sementara itu, terhadap pelanggaran HAM nonberat alias ringan, sedang, atau biasa belum ada pengaturan tentang hal itu. Namun demikian, ketentuan tersebut juga belum sepenuhnya jelas untuk diterapkan dalam hal terjadi pelanggaran HAM berat. Hal itu akan dapat menimbulkan persoalan lain di dalam pelaksanaannya jika tidak dipahami dan dijalankan dengan tepat dan benar. Alih-alih hal itu akan mewujudkan keadilan terhadap korban, keluarga korban, atau ahli warisnya dalam menyelesaikan pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM berat, justru dapat saja menimbulkan ketidakadilan baru.

Menurut Penulis, terdapat beberapa persoalan akademik yang perlu didiskusikan terkait dengan ketentuan tersebut.

Pertama, pemberian alternatif ganti rugi atau pemulihan tersebut sifatnya belum merupakan suatu keharusan apalagi kewajiban, tetapi masih merupakan pelengkap semata-mata. Hal itu terlihat dari kata “dapat” dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU PHAM, yaitu “Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, rehabilitasi.” Penggunaan kata “dapat” masih menimbulkan multitafsir karena kata tersebut akan dimaknai “boleh dilakukan” atau sebaliknya “boleh tidak dilakukan”. Artinya, kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi dalam konteks pelanggaran HAM berat mungkin diberikan atau mungkin juga tidak diberikan.

Kedua, ketentuan tersebut tidak jelas apakah korban atau ahli warisnya itu dapat memperoleh kompensasi, restitusi, rehabilitasi tersebut secara bersama-sama (kumulatif), alternatif, atau kumulatif-alternatif. Dalam pasal tersebut tidak ada kata petunjuk misalnya “dan”, “atau”, atau “dan/atau”, tetapi hanya dipisahkan dengan tanda baca koma yang artinya hanya menyebutkan secara enumeratif dan sekaligus limitatif. Kejelasan itu penting karena akan menunjukkan bahwa korban atau ahli warisnya itu misalnya akan mendapatkan kompensasi saja, restitusi saja, rehabilitasi saja, kompensasi dan restitusi saja, kompensasi dan rehabilitasi saja, restitusi dan rehabilitasi saja, atau ketiga-tiganya sekaligus.

Ketiga, alternatif tersebut secara enumeratif dan limitatif hanya disebutkan tiga kemungkinan saja tidak lebih dan tidak kurang. Namun demikian, di dalam praktik ketiga jenis alternatif tersebut dapat saja diterapkan baik secara alternatif, kumulatif, atau kumulatif-alternatif. Misalnya, korban atau ahli warisnya akan mendapatkan kompensasi saja, restitusi saja, rehabilitasi saja, kompensasi ditambah restitusi, kompensasi ditambah rehabilitasi, restitusi ditambah rehabilitasi, atau sekaligus ketiga-tiganya kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Alternatif mana yang akan dipilih dalam kasus pelanggaran HAM diserahkan kepada hakim di dalam putusan yang dijatuhkannya di persidangan.

Persoalan lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah terkait dengan pihak yang bertanggung jawab dalam kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Di dalam Penjelasan Pasal 35 UU PHAM dijelaskan bahwa kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam hal ini, kompensasi dilakukan atau diberikan oleh negara karena pelakunya mungkin saja negara melalui aparaturnya (state actors), baik pemerintah, militer, polisi, aparatur sipil negara, dan lain-lain.

Persoalannya adalah apabila pelakunya bukan aparatur negara, apakah tetap kompensasi itu harus ditanggung juga oleh negara. Misalnya, pelakunya adalah bukan aparatur negara (non-state actors) seperti individu, masyarakat, korporasi, atau pihak lainnya. Persoalannya adalah jika akibat perbuatan atau tindakan dari para pelaku tersebut harus ditanggung oleh negara. Apabila asumsi tersebut benar adanya, konsekuensinya negara harus bertanggung jawab dan menanggung akibat dari perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pelaku pelanggaran HAM yang bukan dan untuk atas nama negara. Dengan kata lain, pihak bukan negara yang melakukan pelanggaran HAM, tetapi negara yang harus bertanggung jawab atas perbuatan atau tindakannya tersebut dengan memberikan kompensasi.

Selanjutnya, terkait dengan restitusi di dalam penjelasan itu hanya dijelaskan bahwa restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Pertanyannya adalah siapa yang dimaksud dengan pelaku dalam hal itu, apakah aparatur negara atau bukan aparatur negara. Jika pelakunya adalah negara melalui aparaturnya, apakah restitusi diberikan di samping kompensasi atau sebaliknya restitusi diberikan tanpa adanya kompensasi. Secara ideal, restitusi semestinya diberikan pula terhadap korban atau ahli warisnya, selain diberikan pula kompensasi. Dengan kata lain, terhadap korban atau ahli waris korban akan diberikan kompensasi dan restitusi.

Sementara itu, pengertian rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain. Dalam hal ini, rehabilitasi adalah untuk memulihkan suatu HAM yang sudah dilanggar dengan mengembalikannya kepada keadaan atau kondisi seperti sebelum ada atau terjadi pelanggaran HAM tersebut. Namun demikian, dalam hal pelanggaran HAM berat, khususnya kejahatan genosida dan termasuk pula untuk kejahatan terhadap kemanusiaan tertentu yang berakibat meninggalnya korban, rehabilitasi tidak mungkin diterapkan sepenuhnya. Korban yang sudah meninggal tidak mungkin dikembalikan atau dihidupkan kembali, tetapi hak-haknya harus tetap dilindungi dan dijamin terutama terkait dengan nama baiknya yang harus dipulihkan. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below