Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Ketiga Puluh Sembilan)

Oleh: Hernadi Affandi

Penggunaan pendekatan HAM merupakan faktor yang penting dalam upaya penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM di Indonesia. Dalam hal ini, penekanannya bukan agar semua orang dikenakan sanksi tertentu jika ada pelanggaran HAM, tetapi justru agar tidak ada orang, kelompok, atau pihak tertentu yang melakukan pelanggaran HAM. Artinya, hal yang utama adalah jangan sampai terjadi pelanggaran HAM dalam bentuk dan jenis apapun. Namun demikian, jika terjadi pelanggaran HAM, konsekuensinya siapapun atau pihak manapun harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM tersebut.

Bentuk tanggung jawab itu antara lain kesiapan menerima sanksi yang dijatuhkan akibat pelanggaran HAM yang dilakukannya. Kesiapan tersebut bukan hanya atas jenis dan bentuk pelanggaran HAM berat, tetapi juga termasuk pelanggaran HAM nonberat alias ringan, sedang, atau biasa. Dengan demikian, penjatuhan sanksi apapun baik sanksi pidana, perdata, administrasi, atau sanksi lainnya, termasuk kewajiban menanggung kompensasi, restitusi, atau rehabilitasi, bukan tujuan utama dalam upaya penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.

Target penting dan utama dalam pendekatan HAM adalah semua orang, kelompok, atau pihak memiliki kesadaran HAM agar tidak ada pelanggaran. Kesadaran HAM akan menjadi cara yang efektif dalam mencegah terjadinya pelanggaran HAM baik yang ringan apalagi yang berat. Oleh karena itu, setiap orang, khsususnya warga negara atau masyarakat Indonesia, harus memiliki kesadaran HAM, sehingga akan mampu menghormati HAM orang atau pihak lain. Dengan kesadaran HAM yang tinggi, setiap orang atau semua pihak akan mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM. Sebaliknya, kesadaran HAM yang rendah akan menjadi pintu masuk terjadinya pelanggaran HAM bukan hanya yang ringan, bahkan yang berat sekalipun.

Pengenaan sanksi kepada pelaku pelanggaran HAM, baik berupa sanksi pidana, perdata, administrasi, atau sanksi lainnya, termasuk pembebanan kompensasi, restitusi, atau rehabilitasi semestinya hanya menjadi pilihan terakhir (optio novissimis) atau obat terakhir (ultimum remedium). Hal itu perlu diterapkan jika mekanisme lain sudah ditempuh, tetapi tidak atau belum membuahkan hasil. Dalam konteks HAM, hal yang lebih penting adalah menanamkan kesadaran HAM kepada setiap orang atau semua pihak, termasuk kesadaran untuk menghormati HAM. Apabila setiap orang atau semua pihak sudah memiliki kesadaran HAM dan menghormati HAM orang lain atau pihak lain, pelanggaran HAM sudah dengan sendirinya tidak akan terjadi atau setidaknya akan terhindarkan atau dapat dikurangi.

Sebaliknya, sebesar atau sekeras apapun sanksi yang dijatuhkan kepada seseorang atau pihak tertentu belum menjamin tidak akan ada lagi pelanggaran HAM. Orang atau pihak tersebut mungkin saja tidak mengulangi perbuatannya, tetapi dapat saja orang lain yang justru melakukan pelanggaran HAM tersebut. Peluang terjadinya pelanggaran HAM akan selalu terbuka apabila setiap orang atau semua pihak tersebut belum memiliki kesadaran HAM, sehingga tidak menghormati HAM. Dengan demikian, pelanggaran HAM akan terus terjadi sepanjang setiap orang atau semua pihak tersebut belum memiliki kesadaran HAM.

Kesadaran HAM yang sudah muncul dalam diri atau jiwa setiap orang akan memudahkan dalam upaya penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Kesadaran HAM itu akan membawa konsekuensi kewajiban moral untuk menghormati, melindungi, memajukan, menegakkan, atau memenuhi HAM orang lain atau pihak lain. Hal itu juga akan membawa konsekuensi tertentu jika seseorang atau pihak tersebut tidak menghormati, apalagi jika melakukan pelanggaran HAM. Konsekuensi tersebut adalah harus mau menerima sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Secara substantif, HAM adalah “hak setiap orang” atau hak yang melakat pada orang, seseorang, atau semua orang. Hal itu membawa konsekuensi bahwa penghormatan HAM juga merupakan kewajiban setiap orang. Penekanan frasa “setiap orang” menandakan bahwa kewajiban itu melekat pada masing-masing individu atau pribadi dan bukan melekat pada kelompok atau masyarakat secara kolektif. Meskipun masyarakat merupakan kumpulan dari individu atau sebaliknya kumpulan individu yang membentuk masyarakat, secara substantif hak dan kewajiban itu melekat pada individu tersebut.

Secara kolektif, individu tersebut akan membentuk masyarakat, sehingga masyarakat terbentuk dari individu atau sebaliknya masyarakat terdiri dari individu-individu. Dalam konteks HAM, kedudukan tersebut dapat membawa konsekuensi yang berbeda karena HAM yang melekat bukan lagi HAM individu, tetapi sudah merupakan HAM kolektif dari masyarakat tersebut. Dalam hal ini, HAM itu akan berbeda jika diletakkan pada masyarakat karena akan melekat pada kelompok atau komunitas tersebut bukan lagi pada setiap individu, sehingga akibat HAM tersebut juga berbeda.

Secara normatif, UUD 1945 menggunakan frasa “setiap orang” ketika mengatur tentang HAM atau jenis-jenis HAM tertentu yang melekat pada individu. Sebagai contoh, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below