Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Ketiga Puluh)

Oleh: Hernadi Affandi

Penyelesaian pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM berat sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU PHAM). UU PHAM tersebut lebih mengedepankan perspektif hukum pidana dan tidak memberikan peluang penyelesaian pelanggaran HAM dengan cara lain selain dengan hukuman pidana baik pidana mati maupun pidana penjara. Hal itu dianggap wajar karena pelanggaran HAM berat merupakan kejahatan baik berupa kejahatan genosida maupun kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan demikian, kedua kategori pelanggaran HAM berat tersebut diancam dengan hukuman mati atau hukuman penjara.

Namun demikian, pelanggaran HAM yang di luar kategori pelanggaran HAM berat tidak mendapatkan pengaturan sama sekali. Secara teknis, hal itu juga dianggap wajar dengan alasan undang-undang tersebut mengatur tentang pengadilan HAM yang dibentuk khusus untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM berat. Akibatnya, pelanggaran HAM yang tidak termasuk kategori pelanggaran HAM berat tidak menjadi kewenangan dari pengadilan HAM tersebut. Dengan kata lain, pengadilan HAM tidak berwenang mengadili pelanggaran HAM di luar pelanggaran HAM berat alias pelanggaran HAM nonberat atau pelanggaran HAM ringan, sedang, atau biasa. Oleh karena itu, sanksi yang disediakanpun hanya untuk pelanggaran HAM berat dan tidak termasuk pelanggaran HAM nonberat.

Ketentuan sanksi tersebut diatur di dalam UU PHAM mulai dari Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41. Semua pasal tersebut “hanya” ditujukan atau diancamkan kepada pelaku pelanggaran HAM dengan kategori pelanggaran HAM berat sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UU PHAM. Ancaman hukuman dari kedua pasal tersebut berbeda-beda mulai dari yang paling tinggi, yaitu hukuman mati, sampai kepada yang paling rendah, yaitu hukuman penjara 5 tahun. Dengan demikian, secara tidak langsung sebenarnya pasal-pasal terkait dengan sanksi tersebut mengakui adanya gradasi dari jenis pelanggaran HAM berat tersebut, sehingga tidak diancam seluruhnya dengan hukuman maksimal terutama hukuman mati.

Pasal 36 UU PHAM menegaskan bahwa “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d dan e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.” Adapun perbuatan yang diancam pidana tersebut adalah: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Adapun Pasal 37 UU PHAM menegaskan bahwa “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e, atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Adapun perbuatan yang diancam dengan pidana tersebut adalah: a. pembunuhan; b. pemusnahan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; dan j. kejahatan apartheid.

Selanjutnya, Pasal 38 UU PHAM menegaskan bahwa “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf e, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. Adapun perbuatan yang diancam dengan pidana tersebut adalah: e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional. Selanjutnya, Pasal 39 UU PHAM menegaskan bahwa “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. Adapun perbuatan yang diancam dengan pidana tersebut adalah: f. penyiksaan.

Sementara itu, Pasal 40 UU PHAM menegaskan bahwa “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Adapun perbuatan yang diancam dengan pidana tersebut adalah: g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; atau i. penghilangan orang secara paksa.

Dalam pada itu, Pasal 41 UU PHAM menegaskan terkait dengan percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan. Selengkapnya, Pasal 41 UU PHAM berbunyi sebagai berikut: “Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.” Dengan demikian, dalam konteks pelanggaran HAM berat baik tindakan yang sudah terjadi maupun percobaan, baik pelaku utama maupun pemberi bantuan sama-sama dianggap melakukan pelanggaran HAM berat dan diancam dengan hukuman yang sama. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below