Menyoal Pemberantasan Korupsi Di Indonesia

Oleh: Hernadi Affandi

Persoalan korupsi hampir tidak pernah sepi dari pemberitaan media massa baik cetak, elektronik, daring (online) maupun media sosial. Hampir setiap hari media massa baik yang mainstream maupun media sosial menyampaikan berita terkait dengan korupsi. Ada berita penangkapan pejabat dari kementerian anu, provinsi anu, kabupaten anu, kota anu, dan sebagainya. Berita-berita tersebut terus menghiasi headline surat kabar atau berita utama televisi. Namun, anehnya hal itu tidak membuat pihak-pihak tertentu untuk menghentikan kegiatannya, sehingga korupsi jalan terus dengan orang atau cara yang berbeda-beda.

Berita penangkapan pejabat yang korupsi di media massa seakan tidak membuat orang, khsususnya pejabat atau yang memiliki kesempatan, untuk langsung menghentikan kegiatannya. Mungkin saja ketika ada berita penangkapan pejabat tertentu, ada di antaranya orang (yang kemudian ditangkap pada waktu berikutnya) sedang menonton berita tersebut. Mungkin juga orang itu masih berpikir untung saya tidak kena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, kepolisian, atau tim satuan pemberantasan pungutan liar (Saber Pungli). Mungkin pada saat itu, orang tersebut tidak berpikir atau merenung bagaimana jika orang yang ditangkap itu adalah “saya sendiri”.

Akibatnya, semua itu ternyata tidak menyurutkan langkah dan tindakannya untuk terus melakukan korupsi dengan berbagai cara atau modus yang berbeda bahkan ada yang sama dengan yang dilakukan oleh orang yang lebih dulu ditangkap. Berbagai berita di media massa tersebut tidak memiliki efek apapun, tetapi hanya menjadi pepatah “anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”. Artinya, tindakan yang dilakukannya untuk terus menilap uang rakyat atau uang negara terus dilakukan tanpa ada perasaan takut, risih, khawatir, atau malu. Semua peringatan dari penangkapan koruptor terdahulu seakan tidak membuat dirinya takut untuk terus melanjutkan hasrat korupsinya.

Padahal, jika yang bersangkutan sempat berpikir “saya mungkin sedang menunggu giliran berikutnya untuk ditangkap”, orang tersebut pasti akan berpikir puluhan, ratusan, atau ribuan kali untuk melakukan korupsi. Sebaliknya, mungkin saja orang tersebut berpikir, misalnya “orang itu bodoh, kenapa korupsinya ketahuan jadi ditangkap petugas”, atau “kasihan orang itu sial jadi tertangkap petugas”, dan sebagainya. Pikiran atau umpatan itu seakan mampu melepaskan dirinya dari kemungkinan suatu ketika akan berposisi seperti orang yang saat itu ditontonnya di berita TV atau dibacanya di media cetak, online, atau media sosial.

Namun, semua itu tidak berdampak apapun sampai pada saat yang berbeda giliran yang bersangkutan ditangkap petugas dan beritanya juga disiarkan di TV atau di media massa lainnya. Mungkin ketika itulah yang bersangkutan baru merasakan posisi orang yang sempat ditonton sebelumnya di TV atau beritanya dibaca di media massa cetak atau daring. Kemungkinan besar orang itu baru akan merasakan pikiran atau umpatan yang sebelumnya ia tumpahkan kepada orang yang ditangkap lebih dahulu. Saat ini, yang bersangkutan justru berada pada posisi yang pada waktu lalu ia sebut “bodoh”, “kasihan”, “sial”, dan sebagainya.

Hipotesis itu tampaknya dapat berlaku untuk siapapun, baik pejabat pemerintahan, swasta, atau pihak lainnya sesuai dengan peran yang dilakukannya. Akibatnya, upaya pemberantasan korupsi seakan menjadi tidak ada artinya sama sekali. Bahkan, orang yang ditangkap tersebut mungkin saja awalnya anti korupsi bahkan aktivis anti korupsi, atau pejabat yang suka mengingatkan jangan korupsi, dan sebagainya. Namun, semua itu tampaknya hanya di luar atau di permukaan karena kemudian justru yang bersangkutan juga terkena kasus korupsi. Dengan demikian, penangkapan pelaku korupsi hanya tinggal menunggu waktu atau giliran kapan waktunya atau kapan sialnya, sehingga akan terjadi pada waktunya.

Keadaan itu tentu sangat mengenaskan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertanyaannya adalah ada apa dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia? Apakah pemberantasan korupsi hanya merupakan jargon saja, upaya menarik simpati rakyat, cara mengelabui rakyat, atau entah apa lagi modus yang seakan anti korupsi. Padahal, batin orang-orang itu hanya tersenyum dan tertawa seakan-akan berhasil mengelabui rakyat, sehingga rakyat percaya bahwa yang bersangkutan sebagai orang bersih yang anti korupsi. Namun, begitu punya kesempatan yang bersangkutan juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh para pelaku korupsi sebelumnya yang terlebih dahulu ditangkap.

Oleh karena itu, persoalan korupsi tampaknya tidak akan selesai apabila hanya mengandalkan aspek formalitas dalam pemberantasannya. Semua hal yang dilakukan saat ini tampaknya lebih mengedepankan aspek formalitas daripada aspek substantifnya. Banyak pejabat yang sudah disumpah untuk bekerja dengan selurus-lurusnya dalam jabatannya, tapi masih tetap banyak di antaranya yang melakukan korupsi. Banyak pihak termasuk swasta sering diingatkan jangan bermain mata dengan pejabat, tetapi masih banyak pihak swasta yang menyuap atau memberi gratifikasi kepada pejabat. Semua pihak tersebut beramai-ramai melakukan korupsi sesuai dengan perannya masing-masing.

Berbagai fakta adanya tindak pidana korupsi yang terjadi dan dipertontonkan di hadapan masyarakat yang tidak ada habisnya kemudian membuat pikiran Penulis yang sedikit ekstrem. Apakah korupsi di Indonesia memang benar merupakan “budaya” atau “kebiasaan” sejak dulu yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa ini? Jika memang jawabannya “ya”, apakah tidak sebaiknya korupsi “dilegalkan” saja, sehingga tidak akan ada lagi pelakunya yang dianggap melanggar hukum. Sebaliknya, jika jawabannya “bukan”, masihkah ada harapan untuk memperbaiki sikap mental bangsa ini yang sudah korup bahkan sebagian kalangan menganggapnya sudah akut. Jawabannya tentu dikembalikan kepada rakyat dan bangsa ini.

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below