
Oleh: Hernadi Affandi
Penyelesaian masalah hukum melalui pengujian baik formal maupun material atas UUCK adalah pilihan yang tepat dan bijak sesuai dengan aturan main dalam proses penyelesaian masalah hukum di Indonesia. Persoalan terkait dengan hukum idealnya dapat diselesaikan melalui prosedur hukum juga dan tidak dilakukan melalui jalur nonhukum yang tidak produktif apalagi melalui cara anarkis yang tidak jelas. Dengan demikian, proses tersebut akan menjadi pembelajaran bagi semua pihak secara tepat dan benar.
Secara ideal, penyelesaian masalah tersebut sebenarnya bukan hanya ditumpukan kepada proses pengadilan di MK dalam bentuk pengujian baik formal maupun material. Dalam hal ini, proses di MK hanya merupakan jalan keluar terakhir setelah segala masalah yang menjadi pemicunya tidak dapat diselesaikan selama proses pembentukan undang-undang tersebut. Tanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan secara dini sebenarnya ada pada pihak pembentuk undang-undang itu sendiri dan bukan pada MK.
Namun demikian, fakta berbicara lain di mana pembentuk undang-undang baik DPR maupun Presiden dianggap kurang akomodatif terhadap aspirasi dan harapan masyarakat. Berbagai tuntutan yang diajukan oleh berbagai kalangan di awal, pada waktu, dan setelah selesainya proses pembentukan UUCK ternyata dianggap belum cukup direspons secara memuaskan oleh pihak yang berwenang. Akibatnya, faktor ketidakpuasan tersebut menjadi pemicu terjadinya gejolak di masyarakat berupa penolakan atas UUCK.
Selain itu, penolakan yang dilakukan oleh beberapa pihak juga dilakukan melalui jalur hukum dengan mengajukan permohonan pengujian atas UUCK tersebut secara prosedural. Cara ini harus diapresiasi oleh semua pihak karena sudah sesuai dengan mekanisme hukum yang sudah diatur dan dijamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pilihan tersebut juga merupakan bentuk kedewasaan dalam berhukum bagi Indonesia yang mengklaim sebagai negara hukum yang demokratis.
Permohonan pengujian UUCK yang diajukan oleh beberapa pihak tidak lama setelah proses pembentukan undang-undang tersebut selesai. Hal itu dilakukan karena adanya ketidakpuasan beberapa pihak baik atas jalannya proses pembentukan UUCK maupun atas materi-muatan UUCK tersebut. Akibatnya, beberapa pihak tersebut melakukan permohonan pengujian formal dan material atas undang-undang tersebut. Kedua jenis pengujian tersebut diajukan agar UUCK memenuhi aspek prosedural dan material sekaligus.
Kehadiran UUCK yang semula diharapkan akan memenuhi kebutuhan dan kepentingan peningkatan iklim investasi sekaligus memperbaiki mekanisme perizinan ternyata dianggap menimbulkan dampak ikutan. Berbagai persoalan yang muncul sebagai akibat perubahan kebijakan dan arah pembangunan ekonomi tersebut menghadapi tentangan dari beberapa pihak yang merasa terganggu kepentingan dan rasa keadilannya. Keadaan itu menjadi pemicu ketidakpuasan dari beberapa pihak atas UUCK tersebut.
Ketidakpuasan itu sebenarnya diawali dengan kurang diakomodasinya aspirasi dan harapan sebagian kalangan atas proses pembentukan UUCK. Dalam hal ini, proses pembentukan UUCK pada waktu itu dianggap kurang akomodatif dan transparan akibat saluran komunikasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Padahal, persoalan ketidakpuasan yang muncul kemudian tidak akan terjadi seandainya dalam proses pembentukan UUCK sudah berhasil diselesaikan dengan baik pada waktu itu.
Ibarat nasi sudah jadi bubur, proses pembentukan UUCK yang dianggap kurang akomodatif dan transparan itu berimbas kepada ketidakpuasan atas materi-muatannya. Hal itu terjadi karena aspirasi dan harapan masyarakat terutama yang merasa dirugikan atas keluarnya UUCK tidak tertampung secara utuh dan komprehensif di dalam UUCK tersebut. Keadaan itu yang kemudian menjadi menjadi faktor pendorong dilakukannya permohonan pengujian UUCK baik pengujian formal maupun material. (Bersambung).
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
Pos Terkait
Menyoal Hak Asasi Manusia di Indonesia
Menyoal Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden (Bagian Pertama)
Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedua Puluh Lima)
Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedua Puluh Empat)
Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedua Puluh Tiga)