Menyoal Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Undang-Undang Cipta Kerja (Bagian Pertama)

Oleh: Hernadi Affandi

Penantian panjang masyarakat terhadap hasil proses pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UUCK) terjawab sudah. Akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara pengujian formal dan material atas UUCK yang diajukan oleh beberapa pemohon yang merasa dirugikan oleh kelahiran undang-undang tersebut. Putusan MK tersebut diambil pada hari Kamis, 25 November 2021 dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK dan dihadiri oleh para anggota.

Putusan MK tersebut dibacakan secara bergantian oleh Ketua MK dan para hakim anggota selama lebih kurang 4 jam secara maraton. Hal itu dilakukan karena putusan MK itu mengadili seluruh permohonan pengujian baik formal maupun material atas UUCK yang diajukan oleh semua pemohon. Jumlah putusan MK tersebut sekaligus dianggap merupakan rekor tersendiri karena sejumlah permohon pengujian formal dan material diputus dalam waktu bersamaan dan secara maraton.

Namun demikian, putusan MK tersebut ternyata bukan saja menjawab harapan para pemohon pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, tetapi juga sekaligus mengundang kekecewaan. Sebagian kalangan menganggap putusan MK tersebut belum sesuai dengan harapan dan aspirasi yang dimohonkan dalam pengujian undang-undang tersebut. Oleh karena itu, sebagian kalangan masih mempersoalkan putusan MK tersebut karena masih mengandung beberapa hal yang belum jelas, bahkan kontroversi.

Putusan MK tersebut di satu pihak dianggap sebagai jawaban atas rasa keadilan sebagian masyarakat terutama para pemohon dalam pengujian formal dan material UUCK. Permohonan keadilan yang diajukan kepada pembentuk UUCK tidak mendapatkan respons positif baik sebelum maupun setelah proses pengesahannya. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan adalah melalui pengujian formal dan material UUCK kepada MK sebagai pihak yang berwenang.

Namun di pihak lain, putusan MK tersebut dirasakan masih belum sepenuhnya sesuai dengan harapan dan aspirasi khususnya dari para pemohon dan umumnya pihak yang merasa berkepentingan. Keadaan itu kemudian mendorong berbagai pihak untuk mencoba mengkritisi putusan MK sesuai dengan kapasitas dan persepsinya masing-masing. Oleh karena itu, alih-alih putusan MK tersebut menjadi kata akhir dari pihak berwenang, justru masih menimbulkan perdebatan dari berbagai kalangan tersebut.

Banyak komentar, catatan, bahkan kritikan sebagai bentuk ketidakpuasan yang dikemukakan oleh berbagai pihak tersebut atas putusan MK sesuai dengan persepsi dan kepentingannya. Secara umum, pandangan masyarakat yang diwakili oleh beberapa komponen di atas dapat dikelompokkan ke dalam 2 kelompok, yaitu kelompok yang puas dan kelompok yang tidak puas. Pihak yang masih mempersoalkan putusan MK tersebut ditengarai berasal dari kelompok yang tidak puas atas putusan MK tersebut.

Secara normatif, putusan MK tersebut tentu saja sudah final dan mengikat, sehingga tidak ada upaya yang dapat dilakukan untuk mengubah putusan tersebut. Berbagai komentar, catatan, atau kritikan yang diajukan oleh berbagai kalangan masyarakat tersebut tidak akan mengubah apapun atas putusan MK tersebut. Namun demikian, hal itu dapat menjadi salah satu bentuk saluran untuk menumpahkan rasa ketidakpuasan berbagai pihak tersebut meskipun tidak akan berdampak apapun terhadap putusan itu.

Selain itu, berbagai komentar, catatan, atau kritikan tersebut dapat dianggap sebagai salah satu bentuk kebebasan berekspresi dan berpendapat. Hal itu merupakan wujud hakikat demokrasi yang merupakan corak pemerintahan yang dianut dan dijalankan di Indonesia. Dengan demikian, semua bentuk komentar, catatan, atau kritikan itu dijamin oleh Konstitusi sepanjang dilakukan secara baik, sopan, arguemntatif, rasional, dan tidak melanggar hukum khususnya peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam hal ini, semua pihak memiliki hak dan kesempatan untuk memberikan komentar, catatan, atau kritikan atas putusan MK tersebut. Namun demikian, hal itu tentu harus memiliki dasar dan alasan yang argumentatif baik filosofis, sosiologis, yuridis, maupun doktrinal, akademik-ilmiah. Dengan kata lain, keberatan atas putusan MK tersebut sebaiknya diajukan secara objektif dan proporsional tanpa didahului oleh adanya ketidakpuasan semata-mata dari pihak yang terkait langsung atau tidak langsung.

Segala komentar, catatan, atau kritikan atas putusan MK tersebut yang dilakukan tanpa dasar tentu akan menimbulkan dampak negatif bukan saja bagi pihak terkait, tetapi juga untuk pembentukan hukum di Indonesia secara umum. Dalam hal ini, apapun bentuk ketidakpuasan dan kekecewaan atas putusan MK tersebut jangan sampai merusak proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk di dalamnya dalam konteks berhukum. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below