Menyoal Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedua Puluh)

Oleh: Hernadi Affandi

Persoalan lain yang mungkin akan muncul adalah persoalan kelima sebagai persoalan terakhir dari 5 (lima) persoalan yang sudah disampaikan sebelumnya. Yaitu, Keputusan Presiden tentang pemindahan Ibu Kota Negara dapat saja dicabut atau dibatalkan lagi dengan Keppres jika terjadi pergantian Presiden.

Penggunaan Keppres untuk menentukan waktu dalam penetapan pengalihan ke Ibu Kota Negara baru sangat riskan terjadi “penganuliran” sepihak oleh Presiden yang akan datang. Hal itu mungkin sangat kecil peluangnya, tetapi dapat saja terjadi jika terdapat perbedaan pandangan politik antara Presiden saat ini dengan Presiden yang akan datang

Perbedaan pandangan antara Presiden saat ini dengan yang akan datang dapat menyebabkan terjadinya pemindahan kembali Ibu Kota Negara. Dalam hal ini, Presiden yang baru tersebut dapat saja memindahkan kembali kedudukan, fungsi, dan peran Ibu Kota Negara yang lama, yaitu DKI Jakarta.

Hal itu terutama berkaitan dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) RUU Ibu Kota Negara yang berbunyi: “Kedudukan, fungsi, dan peran Ibu Kota Negara tetap berada di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sampai dengan tanggal ditetapkannya pemindahan Ibu Kota Negara dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara dengan Keputusan Presiden.”

Selanjutnya, Pasal 41 ayat (1) RUU Ibu Kota Negara yang justru menganulir kedudukan, dan peran Ibu Kota Negara lama, yaitu DKI Jakarta. Keppres tersebut hanya “menyisakan” fungsi DKI Jakarta sebagai daerah otonom seperti daerah otonom lainnya karena DKI Jakarta bukan lagi sebagai Ibu Kota Negara.

Pasal 41 ayat (1) RUU Ibu Kota Negara berbunyi: Sejak ditetapkannya Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ketentuan Pasal 3, Pasal 4 kecuali fungsi sebagai daerah otonom, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Oleh karena itu, semestinya RUU Ibu Kota Negara sendiri yang menetapkan secara tegas kapan waktunya pemindahan Ibu Kota Negara tersebut. Artinya, ada penegasan di dalam RUU Ibu Kota Negara tersebut misalnya pindah ke Ibu Kota Negara yang baru itu akan dilakukan dalam waktu 2 (dua) tahun kemudian.

Selain itu, semestinya pemindahan ke Ibu Kota Negara baru pada saatnya nanti dituangkan ke dalam undang-undang tersendiri bukan dengan Keppres seperti yang diatur dalam RUU Ibu Kota Negara. Penggunaan Keppres dalam hal itu bukan saja posisinya terlalu rendah, tetapi juga riskan secara politis.

Namun demikian, pengaturan itu sudah terjadi dan memang demikian adanya pilihan pengaturan pemindahan tersebut “hanya” dengan Keppres. Peluang yang masih mungkin diambil adalah dengan melakukan perubahan RUU Ibu Kota Negara seandainya sudah disahkan dan diundangkan dalam waktu dekat ini.

Memang hal itu akan terasa janggal jika materi muatan RUU Ibu Kota Negara tersebut belum apa-apa sudah diadakan perubahan. Namun demikian, menurut hemat Penulis itu adalah jalan terbaik secara yuridis yang dapat diambil sebelum persoalan lainnya muncul karena adanya salah langkah dalam pengaturan hal itu.

Demikian 5 (lima) persoalan yang menurut Penulis dapat saja muncul ke permukaan yang akan mengiringi pembentukan RUU Ibu Kota Negara. Namun demikian, persoalan tersebut mungkin saja masih akan bertambah jika menggunakan pandangan atau perspektif lain yang berbeda atas hal tersebut. (Selesai).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below