Menyoal Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedua)

Oleh: Hernadi Affandi

Pembahasan RUU setelah selesai di pembicaraan tingkat I dilanjutkan dengan pembicaraan tingkat II yang mekanisme dan agendanya sebagaimana diatur di dalam Pasal 69 ayat (1) sampai dengan ayat (3). Adapun pembicaraan tingkat II ini merupakan mekanisme pengambilan keputusan menyetujui atau menolak RUU.

Pasal 69 ayat (1) UU P3 berbunyi sebagai berikut: Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan: a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;

b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan c. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi. Singkatnya, ketentuan ini mengatur terkait dengan persetujuan atau penolakan atas RUU.

Selanjutnya, Pasal 69 ayat (2) UU P3 berbunyi sebagai berikut: Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.

Terakhir, Pasal 69 ayat (3) UU P3 berbunyi sebagai berikut: Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Berdasarkan ketentuan dari Pasal 66 sampai dengan Pasal 69 UU P3 tersebut, proses pembentukan RUU Ibu Kota Negara tersebut baru memasuki tahapan ketiga. Artinya, keputusan itu baru merupakan persetujuan bersama antara DPR dengan Presiden atas RUU tersebut untuk dijadikan undang-undang.

Dengan kata lain, RUU Ibu Kota Negara sampai saat ini masih dalam proses menjadi undang-undang dan belum menjadi undang-undang. Seperti digambarkan sebelumnya bahwa terdapat 2 tahapan lagi yang selanjutnya harus dilalui, yaitu tahapan pengesahan alias penandatanganan dan tahapan pengundangan.

Ketentuan tentang pengesahan RUU antara lain diatur di dalam Pasal 72 dan Pasal 73 UU P3. Pasal 72 berbunyi sebagai berikut: (1) Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

(2) Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

Berdasarkan ketentuan tersebut tampak bahwa yang mengesahkan RUU menjadi undang-undang adalah Presiden dan bukan DPR. Dalam hal ini, DPR “hanya” memberikan persetujuan bersama Presiden atas RUU bukan mengesahkan RUU menjadi undang-undang seperti yang dipahami oleh sebagian kalangan. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below