Menyoal Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Keempat Belas)

Oleh: Hernadi Affandi

Secara singkat di bawah ini akan dijelaskan kelima persoalan tersebut yang perlu mendapatkan perhatian seiring dengan dibentuknya RUU Ibu Kota Negara tersebut. Sebagai catatan, pandangan ini bersifat pribadi dan tidak mewakili atau mengatasnamakan pihak-pihak tertentu baik langsung maupun tidak langsung.

Pertama, secara yuridis-formal akan ada dua undang-undang yang berlaku dalam waktu yang bersamaan dan keduanya mengatur Ibu Kota Negara. Seperti sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa sebuah RUU akan sah menjadi undang-undang setelah disahkan dengan cara penandatanganan oleh Presiden.

Masa pengesahan RUU Ibu Kota Negara tersebut memiliki waktu 30 hari sejak disetujui bersama oleh DPR dengan Presiden pada tanggal 18 Januari 2022. Artinya, waktu 30 hari akan berlangsung sampai dengan 16 Februari 2022, sehingga dalam rentang waktu itu Presiden dapat mengesahkan RUU Ibu Kota Negara.

Setelah disahkan oleh Presiden artinya RUU tersebut akan berubah menjadi undang-undang pada hari dan tanggal disahkannya. Sebagai contoh, pengesahan dilakukan pada tanggal 9 Februari 2022, artinya RUU tersebut statusnya berubah dari RUU menjadi undang-undang karena sudah disahkan.

Contoh selanjutnya, pengundangan juga dilakukan oleh Menkumham pada tanggal 9 Februari 2022, artinya ditempatkan ke dalam Lembaran Negara dengan dberi nomor dan tahun. Anggap saja diberi nomor 9 Tahun 2022, sehingga judulnya menjadi “Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara”.

Akibat RUU tersebut sudah sah menjadi undang-undang akan ada dua undang-undang yang mengatur Ibu Kota Negara. Pertama, UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, “Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara”.

Hal itu terjadi karena undang-undang yang lama, yaitu UU Nomor 29 Tahun 2007 tetap berlaku dan tidak dicabut oleh UU Ibu Kota Negara yang baru. Pencabutan undang-undang lama justru harus menunggu Keputusan Presiden tentang pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Ibu Kota baru yang disebut Nusantara.

Artinya, selama Keputusan Presiden tersebut belum dikeluarkan atau tanggal pemindahan dari Ibu Kota Negara lama ke Ibu Kota Negara baru belum dipastikan, selama itu pula kedua undang-undang tersebut berlaku. Dengan kata lain, terjadi dualisme undang-undang yang mengatur dua Ibu Kota Negara.

Akibat adanya dua undang-undang yang sama-sama mengatur hal yang sama tentu akan menimbulkan persoalan ikutannya. Misalnya, kewenangan dari Gubernur DKI Jakarta saat ini apakah masih dapat menjalankan kedudukan, fungsi, dan peran sebagaimana biasanya atau sudah mulai dihentikan. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below