Menyoal Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Keenam Belas)

Oleh: Hernadi Affandi

Pasal 33 UU Nomor 29 Tahun 2007 berisi 4 (empat) ayat yang mengatur kekhususan pendanaan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Ketentuan tersebut tidak dimiliki oleh provinsi lain, namun akhirnya akan berubah atau hilang juga apabila DKI Jakarta sudah bukan lagi Ibu Kota Negara.

Pasal 33 ayat (1) berbunyi: Pendanaan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang bersifat khusus dalam kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) dianggarkan dalam APBN.

Pasal 33 ayat (2) berbunyi: Dana dalam rangka pelaksanaan kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Pasal 33 ayat (3) berbunyi: Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan anggaran yang diperuntukkan dan dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang pengalokasiannya melalui kementerian/lembaga terkait.

Pasal 33 ayat (4) berbunyi: Gubernur pada setiap akhir tahun anggaran wajib melaporkan seluruh pelaksanaan kegiatan dan pertanggungjawaban keuangan yang terkait dengan kedudukan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Pemerintah melalui menteri/kepala lembaga terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Persoalannya adalah kapan kekhususan terkait dengan pendanaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tersebut akan berhenti atau tepatnya “diberhentikan” dengan keluarnya RUU Ibu Kota Negara yang baru. Namun demikian, ketentuan tersebut tidak diatur secara tegas di dalam RUU Ibu Kota Negara tersebut.

Hal ini yang dikhawatirkan akan memunculkan persoalan baru karena adanya dualisme undang-undang yang mengatur Ibu Kota Negara. Terlebih lagi “pemberhentian” status DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara “diserahkan” kepada Keputusan Presiden yang mengatur tentang pemindahan Ibu Kota Negara.

Secara normatif, pencabutan undang-undang termasuk menghentikan status Ibu Kota Negara yang diatur dengan undang-undang semestinya ditentukan dengan undang-undang lagi. Artinya, hal itu semestinya ditegaskan di dalam RUU Ibu Kota Negara sendiri bukan diserahkan kepada Keputusan Presiden.

Alternatif lainnya adalah ditetapkan dengan undang-undang tersendiri yang mengatur pemindahan Ibu Kota Negara sekaligus menetapkan pemberhentian status DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Namun demikian, hal itu sudah tidak mungkin karena RUU Ibu Kota Negara sudah tinggal menunggu pengesahan dan pengundangan.

Persoalan itu akan terasa jika RUU Ibu Kota Negara sudah disahkan dan diundangkan, sedangkan UU Nomor 29 Tahun 2007 juga masih berlaku. Artinya, pada saat itu akan terdapat 2 (dua) undang-undang yang berlaku dalam waktu yang bersamaan dan keduanya mengatur hal yang sama, yaitu Ibu Kota Negara. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below