Menyoal Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Ketiga Belas)

Oleh: Hernadi Affandi

Ketentuan Pasal 39 ayat (1) tersebut selanjutnya dikaitkan dengan Pasal 41 ayat (1) RUU Ibu Kota Negara yang mengatur akibat hukum pemindahan Ibu Kota Negara dengan Keputusan Presiden. Pasal 41 ayat (1) tersebut sekaligus mengubah kedudukan, fungsi, dan peran Ibu Kota Negara eksisting DKI Jakarta.

Selengkapnya, Pasal 41 ayat (1) berbunyi sebagai berikut: “Sejak ditetapkannya Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ketentuan Pasal 3, Pasal 4 kecuali fungsi sebagai daerah otonom, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”

Adapun Pasal 3, Pasal, 4, dan Pasal 5 UU Nomor 29 Tahun 2007 yang dimaksud oleh Pasal 41 ayat (1) RUU Ibu Kota Negara tersebut mengatur kedudukan, fungsi, dan peran DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Artinya, jika Keputusan Presiden tersebut sudah ditetapkan kedudukan, fungsi, dan peran itu akan berakhir.

Selengkapnya, Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 4: Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus yang berfungsi sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi.

Pasal 5: Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional.

Secara akademik, ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (1) RUU Ibu Kota Negara tersebut menarik untuk dikaji lebih lanjut karena akan mengandung beberapa konsekuensi yuridis. Pertama, secara yuridis-formal akan ada dua undang-undang yang berlaku dalam waktu yang bersamaan dan keduanya mengatur Ibu Kota Negara.

Kedua, akibat ada dua undang-undang tersebut secara de jure dan de facto akan ada dua Ibu Kota Negara secara bersamaan sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, keberlakuan UU Ibu Kota Negara ditentukan oleh Keputusan Presiden yang menetapkan pemindahan Ibu Kota Negara.

Keempat, dualisma Ibu Kota Negara akan menimbulkan kekacauan dalam menentukan tempat pengadministrasian peraturan perundang-undangan. Kelima, Keputusan Presiden tentang pemindahan Ibu Kota Negara dapat saja dicabut atau dibatalkan lagi dengan Keputusan Presiden jika terjadi pergantian Presiden.

Selain kelima persoalan tersebut mungkin saja akan muncul persoalan lain baik dari perspektif hukum, ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik. Namun demikian, seperti sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa tulisan ini akan difokuskan kepada aspek hukum dari perspektif akademik-ilmiah (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below