Menyoal Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Ketiga)

Oleh: Hernadi Affandi

Setelah selesainya persetujuan bersama dan penyampaian RUU kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang, selesai pula tugas DPR dalam proses pembentukan RUU tersebut. Dalam hal ini, keterlibatan DPR dalam pembentukan undang-undang hanya sampai tahapan ketiga dari lima tahapan.

Dengan kata lain, kewenangan dan keterlibatan DPR dalam pembentukan RUU Ibu Kota Negara sudah berakhir. Selanjutnya, “nasib” RUU Ibu Kota Negara tersebut berada di tangan Presiden untuk disahkan atau tidak karena Presiden yang memiliki wewenang untuk mengesahkan RUU menjadi undang-undang.

Dalam hal ini, Presiden mempunyai waktu selama 30 hari untuk mengesahkan atau tidak mengesahkan RUU Ibu Kota Negara menjadi undang-undang. Apabila Presiden mengesahkan dalam arti membubuhkan tanda tangan atau menandatangani RUU tersebut, secara yuridis RUU tersebut menjadi undang-undang.

Sebaliknya, Presiden dapat saja tidak mengesahkan sendiri RUU tersebut dalam waktu 30 hari tersebut karena dengan alasan tertentu. Namun demikian, RUU tersebut tetap akan sah dengan sendirinya atau sah secara hukum menjadi undang-undang sekalipun tidak disahkan atau ditandatangani oleh Presiden.

Ketentuan tersebut sebagaimana diatur di dalam Pasal 73 UU P3 yang mengatur proses dan waktu pengesahan suatu RUU oleh Presiden. Ketentuan tersebut merupakan sesuatu yang baru dalam proses pembentukan undang-undang di Indonesia terutama setelah dilakukannya Perubahan Kedua UUD 1945.

Selengkapnya, Pasal 73 UU P3 berbunyi sebagai berikut: (1) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.

(2) Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.

(3) Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Berdasarkan ketentuan Pasal 73 UU P3 jelas bahwa yang mengesahkan RUU adalah Presiden bukan DPR. Pengesahan artinya adalah “pembubuhan tanda tangan” Presiden ke dalam RUU jika Presiden yang mengesahkan atau pengesahan tanpa pembubuhan tanda tangan Presiden jika RUU sah dengan sendirinya. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below