Menyoal Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Ketujuh)

Oleh: Hernadi Affandi

Berdasarkan ketentuan baru tersebut, istilah atau nama menteri yang ada saat ini, yaitu Menkumham, dapat saja berubah dengan nama baru. Penggantinya dapat bernama “Menteri Perundang-undangan” atau “Kepala Badan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan” atau gabungan keduanya.

Perubahan nama atau istilah tersebut semestinya dilakukan dengan segera oleh Presiden karena UU Perubahan P3 sudah berumur hampir 3 tahun. Apabila Presiden tidak melaksanakannya, hal itu dapat saja menjadi cacat prosedur dalam pembentukan undang-undang, termasuk Undang-Undang Ibu Kota Negara.

Hal itu penting karena menteri yang mengundangkan undang-undang, termasuk Undang-Undang Ibu Kota Negara, harus yang benar-benar berwenang untuk itu. Selama ini, Menkumham yang diberi wewenang oleh UU P3 sebelum perubahan, sehingga sudah “terbiasa” melaksanakan pengundangan undang-undang.

Tetapi saat ini ketentuan tersebut sudah diubah, sehingga harus dipastikan dulu siapa yang saat ini berwenang untuk melaksanakan pengundangan undang-undang. Oleh karena itu, tahapan pengundangan tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, khususnya UU P3 dan perubahannya.

Hal itu penting agar Undang-Undang Ibu Kota Negara memenuhi proses dan prosedur pembentukan undang-undang alias tidak cacat secara prosedural. Akibat kesalahan dalam tahapan atau proses pengundangan tersebut dapat saja Undang-Undang Ibu Kota Negara cacat secara prosedural.

Salah satu cacat prosedur adalah apabila Undang-Undang Ibu Kota Negara diundangkan oleh menteri atau pejabat yang tidak berwenang atau sudah tidak berwenang lagi. Akibatnya, hal itu akan sangat fatal karena tidak sesusai secara prosedural, sehingga dapat menjadi faktor atau alasan batal demi hukum.

Hal itu dapat saja menjadi faktor pemicu dilakukannya pengujian secara formal atas Undang-Undang Ibu Kota Negara oleh pihak tertentu kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam hal ini, MK dapat saja menganggap undang-undang tersebut tidak sesusai prosedur, sehingga menganggap batal demi hukum.

Oleh karena itu, hal ini harus dituntaskan terlebih dahulu sebelum benar-benar menjadi persoalan yang akan dihadapi ke depan. Alih-alih Undang-Undang Ibu Kota Negara yang akan diundangkan akan berlaku dan mengikat umum, justru sudah melanggar ketentuan yang ada, sehingga menimbulkan persoalan baru.

Tahapan pengundangan merupakan tahapan terakhir agar sebuah undang-undang benar-benar berlaku dan mengikat umum. Demikian pula halnya, Undang-Undang Ibu Kota Negara yang saat ini masih dalam proses penyelesaian dalam pembentukannya, tahapan pengundangan ini menjadi sangat penting. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below