Menyoal Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Pertama)

Oleh: Hernadi Affandi

Pemindahan ibu kota negara saat ini sudah bukan lagi hanya wacana, tetapi sudah benar-benar akan menjadi kenyataan. Secara normatif, proses pemindahan ibu kota negara tersebut baru dimulai dengan disetujuinya Rancangan Undang-Undang (RUU) Ibu Kota Negara di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Secara normatif dalam pandangan Penulis maksudnya adalah proses tersebut bukan lagi basa-basi politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain. Prosesnya sudah mengkristal dengan adanya persetujuan bersama antara DPR dengan Presiden bahwa RUU Ibu Kota Negara akan dilanjutkan ke tahap menjadi undang-undang.

Namun demikian, terdapat pandangan yang salah di kalangan masyarakat awam bahwa DPR sudah mengesahkan RUU Ibu Kota Negara tersebut. Masyarakat menganggap bahwa RUU tersebut sudah sah sebagai undang-undang dengan disetujuinya RUU tersebut di dalam persidangan oleh DPR dan Presiden.

Sebagai catatan, RUU tersebut baru disetujui tepatnya disetujui bersama oleh DPR dengan Presiden untuk dijadikan undang-undang. Artinya, RUU tersebut belum sah sebagai undang-undang, tetapi masih RUU karena baru selesai di pembicaraan tingkat 2 yang di dalamnya melibatkan pihak DPR dan Presiden.

Secara umum, pembentukan undang-undang akan melewati lima tahapan, yaitu tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Adapun keterlibatan DPR dan Presiden atau Menteri yang mewakili Presiden tersebut baru berada di tahap ketiga, yaitu pembahasan (bersama) RUU.

Selanjutnya, tahapan pembahasan RUU diatur lebih lanjut di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Beberapa pasal yang terkait dengan pembahasan RUU terutama terdapat di dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 69 UU P3 tersebut.

Pasal 66 UU P3 selengkapnya berbunyi sebagai berikut” “Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan”. Selanjutnya, ketentuan lebih rinci terkait dengan mekanisme dan agenda di 2 tingkat pembicaraan diatur di dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 69 UU P3.

Pasal 67 berbunyi sebagai berikut: “Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 terdiri atas: a. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan b. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.

Adapun agenda dalam pembicaraan tingkat I diatur di dalam Pasal 68, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut: a. pengantar musyawarah; b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan c. penyampaian pendapat mini”. Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below