Menyoal Wacana Reshuffle Kabinet

Oleh: Hernadi Affandi

Beberapa minggu terakhir muncul wacana akan adanya reshuffle Kabinet Indonesia Maju di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal itu disebabkan adanya pembentukan dan perubahan nama (nomenklatur) kementerian yang sudah disetujui oleh DPR beberapa waktu lalu. Terdapat dua kementerian yang disetujui oleh DPR, yaitu pembentukan Kementerian Investasi dan penggabungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Akibat adanya penambahan dan perubahan nama kementerian tersebut kemudian muncul spekulasi akan adanya penggantian menteri melalui reshuffle dalam waktu dekat. Wacana tersebut kemudian menjadi konsumsi publik karena terus diberitakan melalui media massa elektronik, cetak, maupun daring (online). Banyak pihak yang menyampaikan wacana reshuffle tersebut mulai dari pihak yang berada di dalam pemerintahan sampai yang di luar pemerintahan.

Munculnya wacana akan terjadinya penggantian menteri menjadi menarik perhatian untuk disimak dan diamati. Berbagai komentar dan analisis juga banyak dilontarkan oleh para pengamat, politisi, akademisi, bahkan masyarakat awam. Semua pandangan tersebut tentu hanya sebagai pengamatan orang luar yang kebenarannya sangat sulit dipertanggungjawabkan atau paling banter hanya kira-kira dan analisis yang disesuaikan dengan persepsi, perspektif, dan konteksnya masing-masing.

Urusan penggantian menteri dalam konteks hukum tata negara Indonesia merupakan wewenang Presiden. Bahkan, ada yang menyebutkan hal itu merupakan hak prerogatif Presiden. Artinya, hak sepenuhnya yang dimiliki oleh Presiden tanpa harus ada campur tangan atau pengaruh dari pihak lain apalagi tekanan publik. Hak prerogatif diartikan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.

Adanya wacana penggantian menteri selain menjadi bahan yang ramai diperbincangkan oleh banyak kalangan, tentu memiliki segi lain. Wacana reshuffle akan berpengaruh kepada kinerja para menteri yang sedang menjabat saat ini. Kemungkinan besar para menteri yang saat ini sedang menjabat akan merasa terganggu secara psikologis karena merasa tidak aman dan tidak nyaman. Bahkan, para menteri tersebut dapat saja menjadi was-was akan terkena penggantian dalam wacana reshuffle yang sedang hangat dibicarakan tersebut.

Semakin lama wacana reshuffle tersebut bergulir dan menjadi bahan diskusi masyarakat akibatnya tentu akan menjadi kontraproduktif bahkan akan semakin memperburuk suasana . Energi masyarakat atau pihak tertentu akan banyak dicurahkan kepada hal-hal yang kurang produktif, sehingga terkesan membuang-buang energi. Padahal, masih banyak persoalan lain yang memerlukan penanganan dengan segera daripada sekedar membicarakan wacana penggantian menteri.

Penggantian menteri sebaiknya diserahkan saja kepada Presiden karena yang tahu persoalan dan kebutuhan tentu hanya Presiden. Persoalan tentang siapa yang akan diangkat atau diberhentikan dalam reshuffle yang akan datang juga hanya Presiden yang tahu. Pihak lain cukup menunggu dan menanti saja keputusan yang akan diambil oleh Presiden tanpa harus merasa paling berkepentingan dalam reshuffle tersebut.

Masyarakat juga tidak perlu membebani Presiden dengan berbagai persoalan yang dikaitkan dengan siapa menteri yang akan diganti, digeser, diangkat, atau dibuang sekalipun. Presiden pasti sudah sangat paham atas masalah itu sekalipun tanpa mendengar suara pihak lain. Presiden sendiri yang paling tahu maunya apa dan harus bagaimana para pembantunya bekerja. Dalam hal ini, Presiden pasti sudah memikirkan dengan matang semua aspek termasuk untung-ruginya. Kesalahan dalam memilih menteri akan membebani Presiden sendiri dan jajaran pemerintahannya.

Selanjutnya, masyarakat hanya cukup berdoa dan berharap kalaupun ada figur baru yang akan diangkat sebagai menteri baru merupakan figur yang mumpuni dan layak dengan jabatan menteri. Doa dan harapan itu wajar mengingat tugas dan tanggung jawab menteri sangat berat, sehingga tidak sembarang orang dapat memperoleh jabatan itu. Dengan kata lain, jabatan tersebut hanya cocok dipegang oleh orang yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas.

Selain itu, pengangkatan seseorang menjadi menteri tentu sudah melalui proses seleksi yang ketat dan akuntabel. Presiden tentu tidak mau lagi salah mengangkat orang karena justru akan menjadi beban moral dan politis selama sisa pemerintahannya. Jangan sampai ada kesan di masyarakat bahwa Presiden akan jatuh pada lubang yang sama dengan mengangkat orang yang tidak cakap dan tidak kapabel menjadi pembantunya.

Menteri adalah pembantu Presiden, tetapi tentu bukan sembarang pembantu karena jabatan itu harus membantu meringankan tugas dan tanggung jawab Presiden. Tugas dan tanggung jawab menteri sangat berat karena menjadi pembantu orang nomor satu di republik ini untuk membawa nasib bangsa dan negara ke arah kemajuan dan kemakmuran. Kehadiran menteri bukan justru untuk membantu menjatuhkan wibawa Presiden di depan rakyat karena kinerja dan performanya tidak baik.

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below