Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Ketiga)

Oleh: Hernadi Affandi

Secara normatif, undang-undang membedakan jenis pelanggaran ke dalam pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat. Di dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) ditegaskan bahwa “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”

Sementara itu, Pasal 7 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU PHAM) menegaskan bahwa “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan.” Seperti dijelaskan pada bagian pertama tulisan ini, pengertian kejahatan genosida dirinci ke dalam 5 jenis dan kejahatan terhadap kemanusiaan dirinci ke dalam 10 jenis. Dengan demikian, jumlah dan jenis pelanggaran HAM berat sangat terbatas sesuai dengan ketentuan UU PHAM. Secara argumentum a contrario, pelanggaran HAM yang tidak termasuk kategori pelanggaran HAM berat adalah pelanggaran HAM ringan atau sedang.

Dengan demikian, pelanggaran HAM itu bukan hanya pelanggaran HAM berat karena di luar itu masih ada kemungkinan terjadi pelanggaran HAM nonberat alias pelanggaran HAM ringan atau sedang. Pengertian pelanggaran HAM ditujukan kepada pelanggaran dalam arti umum atau luas, sehingga jumlah dan jenisnya tidak terbatas atau tidak dibatasi. Sementara itu, pelanggaran HAM berat hanya untuk kasus pelanggaran HAM tertentu yang dianggap berat di mana jumlah dan jenisnya sudah ditentukan di dalam undang-undang. Namun, secara umum baik pelanggaran HAM nonberat alias ringan atau sedang dan pelanggaran HAM berat adalah pelanggaran HAM.

Pengertian HAM sudah ditegaskan di dalam Pasal 1 angka 1 UU HAM sebagai berikut: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Secara singkat dapat dikatakan bahwa HAM adalah hak-hak manusia yang penting dan mendasar sebagai pemberian Tuhan pada saat kelahiran yang diperlukan untuk menjaga harkat dan martabat kemanusiaan.

Secara kategoris, HAM biasanya dibagi ke dalam kelompok HAM Sipil dan Politik (Sipol), dan HAM Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob). Kedua kategori HAM tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga dalam perlindungan dan penegakannya juga akan berbeda. Karakteristik HAM Sipol lebih kepada pembatasan terhadap penyelenggara negara dan pemerintahan untuk turut campur dalam kehidupan rakyatnya agar tidak melakukan pelanggaran terhadap HAM tersebut. Secara umum, bentuknya berisi larangan dan pembatasan terhadap penyelenggara negara dan pemerintahan. Apabila penyelenggara dan pemerintahan melakukan tindakan yang dilarang tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.

Sementara itu, karakteristik HAM Ekosob lebih bersifat perintah kepada penyelenggara negara dan pemerintahan untuk melakukan tindakan atau kegiatan tertentu secara proaktif dalam pemenuhan kepentingan rakyatnya. Dalam hal ini, penyelenggara negara dan pemerintahan tugasnya adalah melakukan pemenuhan terhadap hak-hak dan kebutuhan rakyat sebagaimana terangkum di dalam HAM Ekosob sendiri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya, pemenuhan hak atas kesehatan, pendidikan, pangan, air bersih, dan sebagainya. Dalam konteks HAM Ekosob penyelenggara negara dan pemerintahan antara lain harus menyiapkan fasilitas kesehatan, pendidikan, pangan, air bersih, dan lain-lain.

Oleh karena itu, pelanggaran HAM Ekosob akan memiliki karakteristik yang berbeda dengan pelanggaran HAM Sipol. Pelanggaran HAM Sipol khususnya yang termasuk pelanggaran HAM berat biasanya adalah bersifat pengintimidasian, penganiayaan, penyiksaan, penghilangan, bahkan pembunuhan. Jika kriteria itu saja yang dijadikan dasar untuk mengadili para perlakunya, artinya pelaku pelanggaran HAM Ekosob tidak akan pernah tersentuh secara hukum. Dengan demikian, pelaku pelanggaran HAM Ekosob tidak akan mendapatkan perhatian serius jika terjadi pelanggaran terhadapnya.

Padahal, peluang terjadinya pelanggaran HAM Ekosob dapat saja terjadi meskipun berbeda dengan kualifikasi untuk pelanggaran HAM berat. Dalam pelanggaran HAM Ekosob bukan bersifat pengintimidasian, penganiayaan, penyiksaan, penghilangan, bahkan pembunuhan. Pelanggaran HAM Ekosob akan banyak terjadi dalam bentuk pembiaran-pembiaran yang dilakukan oleh para penyelenggara negara dan pemerintahan. Indikasi para penyelenggara negara dan pemerintahan melakukan pembiaran antara lain tampak ketika membiarkan rakyatnya sakit, bodoh, lapar, miskin, dan sebagainya.

Apabila keadaan rakyat itu terjadi karena tidak adanya upaya atau tindakan penyelenggara negara dan pemerintahan dalam menyediakan dan menyiapkan akses dan sarana yang diperlukan, secara langsung atau tidak langsung dapat dianggap melakukan pelanggaran HAM, khususnya HAM Ekosob. Oleh karena, hakikat HAM Ekosob mewajibkan penyelenggara negara dan pemerintahan bertindak secara proaktif di dalam pemenuhannya. Dalam hal ini, HAM Ekosob berbeda dengan HAM Sipol karena lebih menekankan tindakan aktif dan proaktif dari para penyelenggara negara dan pemerintahan, (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below