Menyoal Kinerja KPU Dalam Penyelenggaraan Pemilu 2024 (Bagian Ketujuh)

Oleh: Hernadi Affandi

UU Pemilu sudah menegaskan bahwa pelaksanaan Pemilu wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal itu ditegaskan di dalam konsiderans menimbang huruf c sebagai salah satu landasan filosofis dari pelaksanaan Pemilu.

Oleh karena itu, penyelenggaraan Pemilu harus sesuai dengan asas dan prinsip Pemilu sebagaimana diatur di dalam UU Pemilu. Hal itu penting agar Pemilu berjalan sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pengaturan tentang asas Pemilu ditegaskan di dalam Pasal 2 dan prinsip Pemilu diatur di dalam Pasal 3 UU Pemilu. Adapun Pasal 2 selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (asas luber dan jurdil).

Sementara itu, Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Dalam menyelenggarakan Pemilu, Penyelenggara Pemilu harus melaksanakan Pemilu berdasarkan pada asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip: a. mandiri; b. jujur; c. adil; d. berkepastian hukum; e. tertib; f. terbuka; proporsional; profesional; akuntabel; efektif; dan efisien.

Dalam hal ini, penyelenggara Pemilu bukan hanya harus menyelenggarakan Pemilu “yang”, tetapi juga “secara” luber dan jurdil. Pemilu “yang” luber dan jurdil ditujukan kepada semua pihak di luar, sedangkan “secara” luber dan jurdil ditujukan kepada internal penyelenggara Pemilu.

Secara sederhana, maksudnya adalah penyelenggaraan Pemilu akan diikuti dan dirasakan oleh seluruh pihak di luar penyelenggara Pemilu. Oleh karena itu, luber dan jurdilnya Pemilu atau sebaliknya tidak luber dan jurdilnya Pemilu akan dirasakan oleh pihak yang bukan penyelenggara Pemilu.

Misalnya, dalam Pemilu terdapat tahapan yang tidak sesuai dengan asas bebas dan rahasia, sehingga hal tersebut dirasakan oleh rakyat. Artinya, Pemilu “yang” dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu tidak sesuai dengan asas luber dan jurdil karena rakyat merasakannya demikian.

Sementara itu, “secara” luber dan jurdil lebih ditujukan kepada pihak penyelenggara Pemilu itu sendiri sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pemilu. Dalam hal ini, penyelenggaraan Pemilu harus dilaksanakan “secara” luber dan jurdil oleh penyelenggara Pemilu.

Penyelenggara Pemilu yang menyelenggarakan Pemilu tidak “secara” luber dan jurdil misalnya menutupi atau merahasiakan informasi tertentu. Padahal, informasi itu sangat berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu itu sendiri yang harus diketahui oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Berdasarkan hipotesis tersebut apabila KPU sebagai penyelenggara Pemilu tidak menjalankan asas dan prinsip Pemilu tentu akan mencederai hakikat kedaulatan rakyat. Alasannya, Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara sesuai dengan pilihan rakyat.

Apabila pelaksanaan Pemilu tidak berjalan dengan luber dan jurdil artinya tidak sesuai dengan aturan main sebagaimana diatur di dalam UU Pemilu. Terlebih lagi jika penyelenggara Pemilu sendiri yang melakukan berbagai kecurangan atau melakukan manipulasi dalam proses atau atas hasilnya.

Hal itu sama artinya dengan menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang bukan pilihan rakyat, tetapi dijadikan seolah-olah hasil pilihan rakyat. Dalam hal ini, penyelenggara Pemilu bertindak sebagai pihak yang memanipulasi suara rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Apabila hal itu terjadi, alih-alih penyelenggara Pemilu sebagai pihak yang harus menjalankan aturan main Pemilu secara jurdil justru menjadi pelanggar. Akibatnya, Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat akan menjadi permainan kekuasaan atau dimanfaatkan untuk pihak tertentu.

Sebagai konsekuensinya, Pemilu akan kehilangan maknanya sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi. Padahal, Pemilu merupakan sarana yang efektif dan nyata untuk menunjukkan ada atau tidak adanya kedaulatan rakyat dalam sebuah negara demokrasi.

Dalam jangka panjang, rakyat tidak akan mempercayai lagi Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat dalam memilih dan menentukan wakilnya atau penyelenggara negara dan pemerintahan. Apabila hal itu terjadi tentu akan menjadi lonceng kematian bagi Indonesia sebagai negara demokrasi. (Selesai).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below