Peringatan HAM Sedunia: Momentum Introspeksi Bagi Bangsa Indonesia

Oleh: Hernadi Affandi

Penandatanganan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dilakukan pada tanggal 10 Desember 1948. Negara-negara di dunia kemudian menjadikan tanggal tersebut sebagai waktu peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia.

DUHAM berisi 30 pasal yang secara garis besar mengakui keberadaan HAM, termasuk penghormatan dan perlindungan terhadap HAM perempuan, persamaan di depan hukum, dan lain-lain. Sebelumnya, tidak ada instrumen internasional yang disepakati sebagai tonggak penghormatan dan perlindungan HAM.

Sebagian besar negara-negara di dunia kemudian melakukan ratifikasi DUHAM tersebut sebagai bukti penghormatan dan perlindungan terhadap HAM. Negara-negara peratifikasi memiliki kewajiban moral untuk menghormati dan melindungi HAM di negaranya sebagaimana diatur di dalam DUHAM.

DUHAM memang tidak bersifat mengikat secara hukum dalam arti tidak ada sanksi tertentu jika negara-negara peratifikasi tidak menerapkannya secara konsekuen dan konsisten. Tetapi, negara peratifikasi memiliki kewajiban moral untuk menghormati dan melindungi HAM yang diatur di dalam DUHAM tersebut.

Momen Introspeksi Dalam Penghormatan dan Perlindungan HAM

Peringatan HAM internasional pada tanggal 10 Desember 2020 hari ini merupakan kesempatan yang tepat untuk melakukan introspeksi atas penghormatan dan perlindungan HAM Indonesia. Peringatan tersebut juga sekaligus menjadi ajang untuk memperbaiki kekurangan dalam pemenuhan HAM di Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu negara yang turut meratifikasi DUHAM tersebut, sehingga Indonesia memiliki kewajiban moral untuk mengikuti ketentuan yang termuat di dalam DUHAM tersebut. Salah satu bentuk kewajiban moral tersebut adalah mengakui dan melindungi HAM seperti diatur di dalam DUHAM.

Perjalanan negara Indonesia sebagai salah satu negara yang mengakui dan melindungi HAM kemudian diuji dengan adanya berbagai pelanggaran HAM. Secara de facto, pelanggaran tersebut dilakukan baik oleh negara melalui aparatnya maupun oleh masyarakat pada umumnya baik kelompok maupun individu.

Jenis pelanggaran HAM yang dilakukan baik oleh negara maupun masyakarat mulai dari yang ringan, sedang, sampai berat. Sejarah menunjukkan bahwa banyak peristiwa pelanggaran HAM tersebut yang belum tuntas penyelesaiannya secara memuaskan karena adanya berbagai hambatan.

Perhatian pemerintah pada masa Orde Lama (Orla) terhadap HAM dianggap masih kurang karena situasi dan kondisi negara yang masih dalam masa peralihan. Penyelenggaraan negara dan pemerintahan lebih ditujukan kepada penguatan simbol-simbol negara daripada pemenuhan HAM, sehingga terkesan anti HAM.

Beberapa peristiwa pelanggaran HAM yang sempat menjadi catatan sejarah yang terjadi pada masa Orla antara lain adanya pembubaran partai politik, pemenjaraan tokoh-tokoh politik tanpa proses pengadilan, pelarangan kegiatan yang berbau budaya asing, dan lain-lain.

Keadaan itu diperburuk dengan pemusatan kekuasaan negara di tangan Presiden dengan menempatkan lembaga-lembaga negara berada di bawah Presiden. Kekuasaan terpusat di tangan Presiden menjadi faktor terpinggirkannya penghormatan dan perlindungan HAM pada masa itu.

Akibatnya, penyelenggaraan negara tidak lagi melibatkan rakyat terutama terkait dengan pengisian lembaga-lembaga negara yang semestinya memperoleh mandat dari rakyat. Pembentukan DPR(S) dan MPR(S) pada masa itu sama sekali tidak melibatkan rakyat yang seharunya dilakukan dalam pemilu.

Penghormatan dan perlindungan HAM baik HAM Sipil dan Politik (HAM Sipol) maupun HAM Ekonomi, Sosial, dan Budaya (HAM Ekosob) belum berjalan sebagaimana mestinya. Perhatian pemerintah terhadap HAM pada waktu itu masih sangat minim jika tidak dikatakan tidak ada sama sekali.

Keadaan itu mulai mengalami perubahan seiring dengan beralihnya kekuasaan dari Orla kepada Orde Baru (Orba). Penghormatan dan perlindungan HAM mulai dirasakan seiring dengan pengaturan hak-hak politik warga negara ke dalam peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Pemilihan Umum.

Kebebasan di lapangan HAM politik agak mulai dibuka seiring dengan diaturnya hak warga negara untuk terlibat di dalam pemilu. Hal itu menumbuhkan kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pengisian lembaga-lembaga negara mulai dilakukan secara bertahap sesuai dengan ketentuan UUD 1945.

Lembaga-lembaga Negara mulai diisi secara terbuka dengan melibatkan rakyat terutama untuk lembaga-lembaga negara yang pengisiannya melalui pemilu. Sementara itu, lembaga-lembaga negara yang bukan lembaga politik diisi dengan melibatkan DPR sebagai mewakili rakyat.

Secara umum, pelaksanaan HAM politik di awal Orba sudah mulai berjalan sebagai perwujudan terhadap penghormatan dan perlindungan HAM. Namun, persoalan muncul dari aspek lain terutama terkait dengan pemenuhan kebebasan berbicara dan berserikat terutama setelah Orba berusia lebih dari sepuluh tahun.

Perjalanan sejarah Orba kemudian mengalami perubahan arah seiring dengan semakin kuatnya kekuasaan Presiden dalam konstelasi politik di Indonesia. Presiden secara perlahan tetapi pasti mulai memasuki ranah HAM di mana kebebasan warga negara mulai dilakukan pembatasan-pembatasan.

Penyederhaan partai politik yang dilakukan pada tahun 1973 menjadi momen kemunduran perlindungan HAM politik karena saluran politik mulai dibatasi. Penyempitan saluran kebebasan memilih partai politik dirasakan sampai berakhirnya Orba pada tahun 1998.

Di sisi lain, pemenuhan HAM Ekosob pada masa Orba relatif mengalami peningkatan secara signifikan seiring dengan perhatian pemerintah untuk memajukan perekonomian. Pemerataan ekonomi diwujudkan dalam bentuk trilogi pembangunan dengan fokusnya pemerataan hasil-hasil pembangunan.

Pencapaian lain dari Orba yang cukup monumental dari aspek HAM Ekosob adalah dengan terwujudnya swasembada pangan pada tahun 1983. Keberhasilan tersebut menunjukkan Pemerintah Orba menaruh perhatian terhadap HAM ekonomi, khususnya hak atas pangan.

Demikian pula halnya pemenuhan sandang mulai diperhatikan dengan dibukanya beberapa pabrik besar di bidang sandang. Pembangunan perumahan juga mulai dilakukan secara masif dengan adanya pembangunan perumahan nasional (Perumnas) dalam rangka pemenuhan kebutuhan papan.

Pemenuhan HAM Sipil juga cukup mengalami kemajuan signifikan seiring dengan dibukanya akses masyarakat untuk memperoleh pendidikan terutama pendidikan dasar. Pembangunan sekolah-sekolah dasar dilakukan secara masif dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden yang dikenal dengan SD Inpres.

Pemenuhan HAM di era Orba agak tercoreng dengan munculnya persoalan dari sisi politik yang berimbas kepada kehidupan sosial, politik, budaya, HAM, dan lain-lain. Peristiwa penekanan terhadap kebebasan mulai terjadi seiring dengan semakin kuatnya kekuasaan Orba pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an. Akibatnya, masyarakat mulai merasakan adanya pengekangan yang semakin kuat dari pemerintah.

Beberapa peristiwa yang muncul dan berimbas kepada pelanggaran HAM antara lain adalah peristiwa Tanjung Priok, penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Irian Jaya, dan lain-lain. Beberapa persitiwa tersebut pada waktu itu menunjukkan adanya indikasi pelanggaran HAM.

Selain itu, berbagai peristiwa pelanggaran HAM lainnya kemudian menyusul dengan intensitas dan kualitas yang cukup signifikan. Peristiwa Talangsari, Kedungombo, Marsinah, dan lain-lain merupakan indikasi pelanggaran HAM yang mewarnai perjalanan sejarah kelam HAM di Indonesia pada waktu itu.

Puncak terjadinya pelanggaran HAM politik adalah adanya pembatasan kebebasan menyatakan pendapat dengan dilakukannya penembakan terhadap mahasiswa yang sedang melakukan kegiatan orasi dalam demonstrasi menuntut mundurnya Presiden Suharto yang memakan korban beberapa mahasiswa.

Perjalanan sejarah Orba berakhir seiring dengan mundurnya Presiden Suharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang menandai lahirnya Era Reformasi. Sejarah kemudian berlanjut memasuki masa Orde Reformasi yang mengandung harapan semakin dihormati dan dilindunginya HAM di Indonesia.

Namun demikian, kebebasan yang semakin dirasakan di Era Reformasi kemudian membawa dampak terhadap kebebasan yang bersifat kebablasan. Sebagai akibatnya, pelanggaran HAM di Era Reformasi bukan saja dilakukan oleh negara, tetapi juga oleh pihak nonnegara bahkan individu.

Terjadinya massa berhadap-hadapan dengan aparat atau massa dengan massa dalam berbagai peristiwa menunjukkan pelaku pelanggaran HAM bergeser dari negara ke masyarakat. Jenis pelanggaran HAM yang semula didominasi dilakukan oleh negara justru kemudian dilakukan oleh masyarakat.

Penutupan berbagai rumah ibadah oleh pihak-pihak tertentu di luar negara merupakan indikasi adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh nonnegara. Dengan kata lain, berbagai peristiwa penutupan rumah ibadah merupakan indikasi bentuk pelanggaran HAM oleh sesama warga negara.

Adanya berbagai peristiwa yang mengindikasikan adanya pelanggaran HAM oleh masyarakat terjadi seiring dengan ketidakhadiran negara dalam melindungi warga negaranya. Negara seakan lepas tanggung jawab ketika ada pihak-pihak tertentu yang merugikan HAM kelompok minoritas tertentu.

Keadaan itu merupakan salah satu indikasi penghormatan dan perlindungan HAM yang belum sepenuhnya dapat dilakukan oleh negara. Padahal, negara merupakan pihak yang diberikan tanggung jawab oleh Konstitusi untuk melindungi segenap tumpah darah termasuk HAM warga negaranya.

Negara yang diwakili oleh pemerintah semestinya hadir dalam melindungi HAM warga negara baik HAM Sipol maupun HAM Ekosob. Dalam hal ini, ketidakhadiran Pemerintah semestinya dapat dituntut bukan hanya karena melakukan pelanggaran HAM secara aktif, tetapi karena pembiaran alias bersifat pasif.

Keadaan itu semakin tampak jelas ketika Indonesia memasuki pandemi COVID-19 di mana kehadiran negara masih kurang dirasakan sebagaimana mestinya. Berbagai persoalan ikutan dari pandemi COVID-19 yang dialami oleh masyarakat menandakan negara belum hadir secara utuh.

Peringatan HAM Internasional pada hari ini diharapkan menjadi momentum untuk melakukan introspeksi sejauh mana negara dan masyarakat Indonesia sudah menghormati dan melindungi HAM. Selain itu, peringatan HAM hari ini juga harus menjadi titik tonggak untuk lebih peduli dalam pemenuhan HAM.

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below