Menyoal Kinerja KPU Dalam Penyelenggaraan Pemilu 2024 (Bagian Ketiga)

Oleh: Hernadi Affandi

Hasil pekerjaan KPU yang sudah menyelenggarakan Pemilu sampai kepada tahapan kesembilan tentu harus mendapatkan apresiasi dari seluruh rakyat Indonesia. Secara prosentase, KPU sudah menyelenggarakan sebagian besar tahapan penyelenggaraan Pemilu dari sebelas tahapan Pemilu.

Namun demikian, sebagian kalangan masyarakat justru masih ada yang mempersoalkan kinerja KPU karena adanya berbagai persoalan yang muncul. Dalam hal ini, kinerja KPU dianggap kurang profesional oleh sebagian masyarakat karena adanya berbagai persoalan yang muncul tersebut.

Konsekuensinya, dalam hal ini berlaku peribahasa “akibat nila setitik rusak susu sebelanga” yang artinya akibat kesalahan kecil merusak semua kebaikan. KPU yang sudah bekerja keras selama ini justru kinerjanya dianggap rusak karena adanya hal-hal yang dianggap bermasalah tersebut.

Bahkan, suara-suara miring terhadap KPU sudah mulai muncul jauh sebelum pelaksanaan tahapan pemilihan dan penghitungan suara. Artinya, penilaian negatif masyarakat terhadap kinerja KPU bukan hanya muncul setelah pelaksanaan tahapan pemungutan suara tanggal 14 Februari 2024.

Sebagian masyarakat menilai kinerja KPU dianggap kurang profesional karena adanya berbagai masalah dimulai dari persoalan daftar pemilih tetap (DPT). Dalam penyelenggaraan Pemilu, DPT masuk ke dalam tahapan kedua, yaitu pemutakhiran data Pemilih dan penyusunan daftar Pemilih.

Persoalan klasik dalam hampir setiap penyelenggaran Pemilu ini kembali muncul dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 karena adanya dugaan DPT bermasalah. Bahkan, jumlah DPT bermasalah tersebut dianggap fantastis karena mencapai 54 juta suara pemilih ganda, siluman, dan lain-lain.

Akibatnya, muncul kekhawatiran masyarakat dengan adanya DPT bermasalah tersebut akan berpengaruh terhadap hasil Pemilu 2024. Kekhawatiran itu dianggap beralasan karena DPT yang tidak sesuai dengan kenyataan akan rawan digunakan untuk memanipulasi hasil Pemilu itu sendiri.

Kekhawatiran tersebut semakin mendekati kenyataan ketika penghitungan suara dilaksanakan ditengarai adanya penggelembungan jumlah suara. Hal itu ditengarai terjadi terhadap hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) bagi pasangan calon (Paslon) tertentu.

Bahkan, penggelembungan jumlah suara juga diduga terjadi untuk hasil pemilihan umum anggota legislatif (Pileg). Artinya, dugaan masyarakat terhadap DPT bermasalah yang akan digunakan untuk memanipulasi hasil Pemilu 2024 semakin besar dan sangat beralasan mendekati kenyataan.

Persoalan tersebut antara lain juga didukung dengan adanya dugaan sistem informasi rekapitulasi pemilihan umum (Sirekap) yang bermasalah. Alih-alih Sirekap dapat menjadi sumber informasi valid atas penghitungan dan rekapitulasi hasil Pemilu justru menjadi sumber masalah tersendiri.

Kehadiran Sirekap justru dianggap menjadi semakin menguatkan adanya dugaan kecurangan penggelembungan suara terhadap pihak tertentu. Akibatnya, alih-alih masyarakat semestinya memberikan apresiasi terhadap kinerja KPU yang sudah bekerja keras justru menjadi sebaliknya.

Dalam hal ini, masyarakat sekali lagi mempersoalkan profesionalitas dan transparansi kinerja KPU dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. KPU dianggap tidak profesional dan transparan dalam menginformasikan hasil Pemilu 2024 karena seolah-olah ada yang ditutupi untuk dibuka ke publik.

Oleh karena itu, ada pihak-pihak tertentu yang menganggap bahwa penyelenggaraan Pemilu 2024 merupakan Pemilu terburuk sejak reformasi. Bahkan, sebagian kalangan menilai Pemilu 2024 merupakan Pemilu terburuk sepanjang sejarah Pemilu di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1955.

Berbagai penilaian negatif bahkan hujatan masyarakat tersebut tentu harus menjadi bahan evaluasi dan introspeksi bagi pihak KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Dalam hal ini, KPU jangan serta-merta menganggap bahwa suara-suara tersebut muncul tanpa dasar atau hanya mendiskreditkan KPU.

Masyarakat memberikan penilaian negatif terhadap kinerja KPU tentu mempunyai alasan dan bukti-bukti tertentu sesuai dengan sudut pandangnya. Seperti pepatah “tidak ada asap jika tidak ada api” demikian pula halnya masyarakat tidak akan memberikan penilaian negatif jika tidak ada buktinya.

Semua suara miring dari masyarakat terhadap kinerja KPU adalah sebagai bentuk kecintaan masyarakat terhadap KPU. Masyarakat tentu mengharapkan KPU bekerja dan bertugas secara profesional dan proporsional sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below