Menyoal Fenomena Caleg Gagal Dalam Pileg (Bagian Kelima)

Oleh: Hernadi Affandi

Kejadian lucu, aneh, atau bahkan satir yang dipertontonkan oleh para caleg gagal tersebut semestinya tidak terulang dari waktu ke waktu. Namun, anehnya kejadian semacam itu justru pernah terjadi pada Pileg-pileg sebelumnya dan terulang kembali dalam Pileg terakhir kemarin.

Artinya, kejadian di Pileg sebelumnya tidak menjadi pelajaran yang berharga bagi para caleg dalam menyambut dan menghadapi Pileg. Buktinya modus operandi para caleg melakukan politik uang ketika menjelang dan saat pencoblosan terulang dengan kejadian akhir yang sama.

Masih adanya fenomena politik uang yang belum hilang dari kancah politik baik Pileg, Pilpres, maupun Pilkada sebenarnya dapat merusak sendi-sendi demokrasi. Alih-alih demokrasi mengedepankan suara rakyat sebagai suara Tuhan justru melecehkan suara rakyat itu sendiri.

Munculnya anggapan suara rakyat dapat dibeli dengan sejumlah uang atau barang tertentu amat melecehkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara ini. Politik uang yang dilakukan oleh para caleg kepada rakyat artinya telah menempatkan rakyat hanya sebagai keset demokrasi.

Dalam hal ini, rakyat hanya dijadikan sebagai pihak yang dapat dimanipulasi suaranya dengan harga murah sebatas sembako, semen, aspal, dan sejenisnya. Alih-alih suara rakyat dihargai sebagai suara Tuhan, tetapi justru dihargai dan dibeli dengan harga murah yang sifatnya sesaat.

Adanya para caleg yang gagal dalam meraih suara di dalam kontestasi Pileg sebenarnya sudah merupakan hukum alam yang tidak dapat dihindarkan. Peserta dalam Pileg pasti jumlahnya lebih banyak daripada kursi yang diperebutkan, sehingga pasti ada yang lolos dan tidak lolos.

Oleh karena itu, para caleg semestinya sudah memikirkan dampak terburuk termasuk jika tidak terpilih meskipun sudah melakukan politik uang. Alasannya, jika dirinya saja melakukan politik uang, caleg yang lain pun kemungkinan besar akan melakukan hal yang sama juga.

Artinya, kompetisi dalam Pileg sangat ketat sehingga harus sudah siap mental sejak awal jika gagal terpilih. Dengan demikian, caleg tersebut ketika gagal semestinya tidak perlu berbuat yang aneh-aneh dengan jalan mengambil kembali uang atau barang yang sudah diberikannya.

Kesiapan mental juga penting bagi caleg jika gagal terpilih tanpa harus depresi, stress, apalagi nekad mengakhiri hidup. Kegagalan itu semestinya menjadi bahan evaluasi dan introspeksi mungkin ada yang salah atau kurang dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat.

Para caleg yang cerdas kalau pun mau memberi bantuan kepada masyarakat dalam bentuk uang atau barang akan melakukannya jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan Pileg. Alasannya, pendekatan kepada masyarakat tidak cukup hanya ketika menjelang hari pencoblosan saja.

Cara itu mungkin akan dianggap jauh lebih elegan sehingga tidak menyalahi aturan dan akan menumbuhkan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Bahkan, hal itu dianggap sebagai bantuan murni tanpa diembel-embeli oleh kepentingan untuk dipilih dalam Pemilu.

Namun, faktanya politik uang selalu dilakukan menjelang dan saat akan dilaksanakan Pileg. Artinya, pemberian bantuan atau sumbangan tersebut pasti ada maunya atau didasari oleh adanya kepentingan tertentu meskipun katanya “ikhlas” untuk berbagi dengan masyarakat.

Hal itu terbukti begitu para caleg tidak mendapatkan suara yang dibutuhkan, akhirnya mempersoalkan bantuan yang pernah diberikannya itu. Artinya, pemberian itu dianggap bukan sebagai bantuan semata-mata, tetapi justru dianggap sebagai ikatan untuk memilihnya.

Dengan demikian, masyarakat perlu selektif dalam menerima bantuan dari pihak manapun termasuk dari para caleg karena pasti ada ujungnya. Dalam hal ini, ketika caleg tersebut tidak terpilih atau gagal melenggang ke lembaga legislatif justru masyarakat dianggap “berkhianat”.

Sekali lagi keadaan tersebut tentu sangat aneh, lucu, bahkan satir terjadi dalam sebuah ajang Pileg yang mempertaruhkan nasib rakyat untuk lima tahun ke depan. Kejadian semacam itu bukan hanya merugikan pihak tertentu justru merusak kehidupan demokrasi yang normal.

Oleh karena itu, semua pihak harus menyadari politik uang bukan saja merugikan caleg yang kalah, tetapi juga merusak mental masyarakat. Masyarakat akan selalu berharap mendapatkan imbalan dalam memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat. (Selesai).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below