Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Ketiga Puluh Dua)

Oleh: Hernadi Affandi

Akibat belum adanya ketentuan yang memungkinkan diprosesnya pelaku pelanggaran HAM nonberat dalam sistem hukum Indonesia tampaknya sulit untuk menyelesaikan pelanggaram HAM nonberat tersebut. Oleh karena itu, secara normatif perlu ada upaya untuk menjaring pelaku pelanggaran HAM nonberat tersebut dengan mengubah ketentuan peraturan perundang-undangan terkait, terutama dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU HAM) dan Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU PHAM). Bahkan, dalam hal itu perlu pula ada penyesuaian dengan KUHP sebagai ketentuan utama di Indonesia dalam penyelesaian tindak pidana baik berupa kejahatan maupun pelanggaran.

Penyesuaian secara konseptual dalam konteks HAM dalam kaitannya dengan hukum pidana menjadi penting agar terjadi sinergi yang saling menguatkan. Keterkaitan antara HAM dengan hukum pidana ada kalanya sangat erat, tetapi ada kalanya sangat bertentangan secara diametral. Dalam hal-hal tertentu, pelanggaran HAM diancam dengan hukuman pidana baik pidana mati maupun pidana penjara. Kondisi tersebut tidak dapat dihindarkan karena selama ini penyelesaian terhadap pelaku pelanggaran HAM identik pemidanaan. Di satu sisi, hal itu dapat diterima karena dianggap wajar sebagai “balasan” atas perbuatan atau tindakannya. Namun demikian, di sisi lain sanksi tersebut justru dianggap bertentangan dengan HAM itu sendiri atau karena membatasi atau mengurangi HAM pelakunya.

Konsekuensi dari pandangan bahwa setiap pelanggaran HAM harus diselesaikan dengan mekanisme hukum pidana dalam bentuk pengenaan sanksi pidana adalah terabaikannya pelanggaran HAM nonberat atau jenis HAM di luar yang sudah dimasukkan ke dalam objek pelanggaran HAM berat. Secara normatif, pelanggaran HAM berat “hanya” dikaitkan dengan hak untuk hidup terutama dalam hal terjadi pembunuhan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Hal itu ditujukan terutama untuk kejahatan terhadap kelompok atau penduduk sipil seperti yang dimaksudkan dalam pengertian kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pembatasan tersebut mengindikasikan bahwa penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM hanya untuk dua kategori tersebut. Secara argumentum a contrario, pelanggaran HAM di luar pelanggaran yang termasuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan seakan-akan bukan pelanggaran HAM. Padahal, secara normatif UU HAM juga sudah menegaskan bahwa pelanggaran HAM itu untuk semua jenis dan bentuk pelanggaran terhadap HAM. Pengertian pelanggaran HAM di dalamnya termasuk baik yang bersifat pelanggaran HAM berat maupun pelanggaran HAM nonberat.

Oleh karena itu, kekosongan hukum atau ketiadaan pengaturan atas hal itu menjadi persoalan yang dihadapi dalam tataran praktik. Pelaku pelanggaran HAM atau setidaknya terindikasi sebagai pelaku pelanggaran HAM justru tidak dapat diproses secara hukum karena alasan tidak ada ketentuan yang mengaturnya. Dalam hal ini, hukum positif di Indonesia memang belum mengakomodasi pelaku pelanggaran HAM nonberat untuk diproses secara hukum dengan alasan bahwa pelanggaran HAM yang dapat diproses adalah hanya pelanggaran HAM berat, sedangkan pelanggaran HAM nonberat alias ringan, sedang, atau biasa tidak dapat diproses secara hukum karena tidak ada mekanisme dan lembaganya.

Sebagai konsekuensinya, suatu perbuatan atau tindakan yang dilihat dari perspektif HAM sebagai pelanggaran HAM atau setidaknya terindikasi atau memiliki anasir pelanggaran HAM justru dianggap bukan pelanggaran HAM. Jalan keluar yang dilakukan biasanya adalah dengan menjerat pelaku pelanggaran HAM tersebut dengan tindak pidana umum sebagaimana diatur di dalam KUHP. Akibatnya, pelaku pelanggaran HAM tersebut hanya dianggap sebagai pelaku kejahatan atau pelanggaran sebagai tindak pidana umum dan bukan sebagai pelaku pelanggaran HAM baik yang bersifat ringan apalagi yang berat. Padahal, pelaku pelanggaran HAM berbeda dengan pelaku kejahatan atau pelanggaran pada umumnya karena aspek yang dilanggarnya juga berbeda.

Penyelesaian pelanggaran HAM yang hanya dengan pendekatan hukuman pidana mungkin saja cukup efektif dalam hal-hal tertentu. Namun demikian, bentuk penyelesaian melalui hukuman pidana tersebut tidak selamanya menyelesaikan masalah, terutama ketika pelanggaran HAM yang dilakukan bukan dalam kejahatan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Padahal, jenis dan bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan di luar dua kriteria tersebut justru memiliki potensi yang jauh lebih luas dan banyak. Dengan demikian, pelanggaran HAM itu menjadi terabaikan dan pelakunya sendiri tidak harus mempertanggungjawabkan perbuatan atau tindakannya karena tidak ada atau belum tersedia mekanisme dan lembaga yang akan memprosesnya.

Oleh karena itu, ke depan perlu disediakan mekanisme dan lembaga yang dapat memproses secara hukum apabila terjadi pelanggaran HAM nonberat tersebut. Dalam hal ini, pengadilan HAM nonberat merupakan pilihan yang tepat untuk menyelesaikan kebuntuan selama ini. Keberadaan pengadilan HAM secara normatif menjadi penting untuk mengimbangi pendekatan hukum pidana semata-mata dalam menyelesaikan pelanggaran HAM. Hal itu tentu bukan untuk menghilangkan fungsi pemidanaan dalam konteks hukum pidana, tetapi justru untuk menguatkan upaya penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM itu sendiri. Dengan demikian, antara pendekatan HAM dengan pendekatan pidana akan terjadi sinergitas dan saling menguatkan. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below