Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Keempat Puluh Empat)

Oleh: Hernadi Affandi

Sebagai bentuk implementasi Undang-Undang Hak Asasai Manusia (UU HAM), khususnya Pasal 46 dan Pasal 49, terkait dengan kesederajatan hak politik wanita dengan pria, sudah diakomodasi ke dalam beberapa undang-undang yang terkait, terutama tentang pemilihan umum, partai politik, dan lain-lain. Kesederajatan tersebut diwujudkan dalam bentuk dibukanya kesempatan wanita di dalam kepengurusan partai politik (parpol), kuota bagi wanita dalam pemilu untuk mengisi lembaga perwakilan, dan lain-lain. Hal tersebut sebelumnya tidak pernah terjadi, sehingga keterlibatan wanita di dalam politik masih minim.

Pertama kali ketentuan tentang kesederajatan wanita tersebut tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik (UU Parpol). Meskipun UU Parpol tersebut saat ini sudah tidak berlaku, kehadirannya menjadi pembuka kesempatan bagi wanita menuju kesetaraan dengan pria di ranah politik. Ketentuan tersebut juga diakomodasi di dalam undang-undang lain yang terkait terutama di dalam Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Bahkan, UU Parpol dan Undang-Undang Pemilu yang lahir kemudian juga mengatur hal yang sama dan lebih konkret.

Ketentuan di dalam UU Parpol tersebut pada awalnya belum secara eksplisit menegaskan adanya kesetaraan antara wanita dengan pria, tetapi masih menggunakan istilah umum dengan kata “gender”. Frasa yang digunakan adalah kesetaraan dan keadilan gender. Secara konotatif, istilah gender tersebut ditujukan kepada wanita (perempuan), meskipun secara bahasa gender artinya adalah “jenis kelamin”. Dengan demikian, istilah kesetaraan gender harus diartikan kesetaraan antara wanita (perempuan) dengan pria, sedangkan keadilan gender adalah keadilan untuk wanita.

Terdapat beberapa pasal yang menggunakan istilah kesetaraan gender di dalam UU Parpol yang lama tersebut. Meskipun belum secara khusus menegaskan kesetaraan antara wanita dengan pria, UU Parpol tersebut sudah mulai mengakui dan menegaskan adanya kesederajatan wanita dengan pria sebagai perwujudan dari upaya menghilangkan diskriminasi terhadap wanita. Selain tertuang secara eksplisit di dalam pasal-pasalnya, semangat mengedepankan kesetaraan gender juga muncul di dalam konsideran menimbang sebagai landasan filosofis dari UU Parpol tersebut.

Semangat kesetaraan gender di dalam UU Parpol antara lain tercantum di dalam Pasal 7 yang mengatur tentang fungsi parpol yang lebih berfungsi sebagai “sarana”. Terdapat 5 (lima) fungsi parpol sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 UU Parpol tersebut. Khusus terkait dengan semangat kesetaraan gender adalah fungsi kelima (huruf e), sehingga dibaca “Partai politik berfungsi sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.” Dalam hal ini, kesetaraan dan keadilan gender ditujukan untuk membuka kesempatan kepada wanita.

Selanjutnya, kesetaraan gender tersebut diatur pula di dalam pasal yang mengatur tentang kepengurusan parpol. Pasal 13 ayat (3) UU Parpol berbunyi sebagai berikut “Kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.” Sementara itu, Penjelasan Pasal 13 ayat (3) UU Parpol menjelaskan bahwa “Kesetaraan dan keadilan gender dicapai melalui peningkatan jumlah perempuan secara signifikan dalam kepengurusan partai politik di setiap tingkatan.”

Semangat kesetaraan dan keadilan gender pada awalnya bertujuan agar wanita memiliki kesempatan yang lebih terbuka untuk memasuki ranah politik yang sebelumnya hanya merupakan lahan pria. Kesempatan itu antara lain dimulai dengan dibukanya pintu kepengurusan parpol bagi wanita pada setiap tingkatan sesuai dengan aturan main di dalam parpol masing-masing. Kesempatan tersebut pada waktu sebelumnya merupakan hal yang langka karena parpol biasanya didominasi oleh pria. Namun demikian, sejak dibukanya pintu tersebut pihak wanita sudah mendapatkan kesempatan yang lebih terbuka daripada sebelumnya.

Kesempatan yang terbuka untuk wanita di dalam kancah politik tidak terlepas dari hak asasi manusia (HAM) yang semakin dihormati, dilindungi, dimajukan, ditegakkan, dan dipenuhi di dalam tataran praktik di Indonesia. Penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM tersebut termasuk di dalamnya adalah terhadap HAM Politik wanita (perempuan) untuk berpartisipasi di dalam lapangan politik dan ketatanegaraan. Penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM tersebut antara lain ditegaskan di dalam konsideran menimbang UU Parpol tersebut, khususnya huruf a, huruf c, dan huruf d.

Konsiderans menimbang huruf a berbunyi sebagai berikut “bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat adalah bagian dari hak asasi manusia sebagaimana diakui dan dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; huruf c berbunyi “bahwa kaidah-kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, transparansi, keadilan, aspirasi, tanggung jawab, dan perlakuan yang tidak diskriminatif dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu diberi landasan hukum; huruf d berbunyi “bahwa partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat yang penting dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan, kebersamaan, dan kejujuran”. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below