Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Keempat Puluh Enam)

Oleh: Hernadi Affandi

Kesederajatan wanita (perempuan) dengan pria di ranah politik seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya tentu harus dibarengi pula dengan kesederajatan di bidang pendidikan dan pengajaran. Artinya, dalam perspektif HAM, kesederajatan wanita dengan pria bukan hanya di bidang HAM Politik, tetapi juga di bidang HAM Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob), khususnya HAM Sosbud. Hak atas pendidikan merupakan bagian dari HAM Ekosob yang sangat penting dalam menunjang kesederajatan wanita dengan pria di ranah HAM Politik. Tanpa kesederajatan pendidikan akan sulit mewujudkan kesederajatan di ranah politik.

Ketentuan terkait dengan hak atas pendidikan dan pengajaran antara lain ditegaskan di dalam Pasal 48 UU HAM. Ketentuan tersebut berbunyi sebagai berikut “Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.”  Dalam hal ini, tidak ada perbedaan apapun antara wanita dengan pria dalam memperoleh pendidikan, sehingga wanitapun berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran. Konsekuensi dari pengaturan tersebut semua jenis dan level pendidikan harus membuka kesempatan yang sama terhadap wanita untuk menempuhnya.

Pemenuhan hak atas pendidikan (dan pengajaran) merupakan aspek yang penting agar wanita memiliki kemampuan yang sederajat dengan pria di bidang pendidikan. Sebelum pengaturan tersebut, terdapat kesan bahwa pendidikan wanita belum mendapatkan perhatian secara proporsional. Setelah penegasan HAM pendidikan di dalam UU HAM secara perlahan tapi pasti pendidikan untuk kaum wanita juga mendapatkan perhatian yang lebih serius. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan untuk wanita di semua jenis dan tingkatan pendidikan semakin terbuka daripada sebelumnya.

Berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran wanita, terdapat pandangan dalam masyarakat yang bersifat stereotip. Sebagian masyarakat tertentu masih memandang wanita tidak perlu mendapatkan pendidikan yang tinggi karena pada akhirnya hanya akan kembali mengurus keluarga. Pandangan tersebut seakan mendarah daging dan membudaya di sebagian kalangan dan masyarakat Indonesia. Sebagai akibatnya, upaya mewujudkan kesederajatan antara wanita dengan pria di bidang pendidikan dan pengajaran menjadi sulit tercapai. Secara de facto, rata-rata tingkat pendidikan wanita masih jauh dari rata-rata tingkat pendidikan pria.

Akibat dari masih rendahnya rata-rata tingkat pendidikan wanita sangat berpengaruh terhadap banyak aspek kehidupan wanita itu sendiri. Pengaruh tersebut antara lain wanita sulit memasuki dan mendapatkan kesempatan di ranah politik. Meskipun secara normatif peluang tersebut sudah dibuka seperti diatur di dalam UU HAM yang kemudian diimplementasikan di dalam UU Parpol dan UU Pemilu, hal itu juga tidak serta-merta mudah terwujud. Sebagian kecil wanita sudah mulai memasuki ranah politik, tetapi sebagian besar wanita masih banyak yang belum terlibat di dunia politik tersebut.

Demikian pula halnya, pekerjaan dan jabatan tertentu sudah banyak yang dipegang atau diraih oleh wanita, tetapi masih jauh lebih banyak lagi kaum wanita yang belum mampu mengenyam pekerjaan dengan layak. Sebagian kecil kaum wanita sudah mulai memasuki kancah politik dengan menjadi anggota lembaga perwakilan mulai dari daerah sampai pusat, tetapi sebagian besar wanita masih banyak yang hanya jadi asisten rumah tangga. Bahkan, pekerjaan itu diperolehnya di luar negeri dengan menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di berbagai belahan dunia. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa wanita belum mampu memasuki dunia yang membutuhkan keahlian dan pendidikan memadai.

Sebagian wanita juga sudah ada yang menjadi hakim agung, menteri, kepala daerah, pimpinan perguruan tinggi, pimpinan perusahaan bergengsi, dan lain-lain. Namun, masih jauh lebih banyak lagi wanita yang hanya sekedar bekerja seadanya di tempat yang tanpa memerlukan keahlian dan pendidikan tinggi. Sebagai contoh, wanita masih banyak yang hanya mampu bekerja di pabrik-pabrik sebagai tenaga kerja kasar seperti di pabrik garmen, pabrik elektronik, pabrik sepatu, pabrik boneka, dan lain-lain. Akibatnya, gaji atau penghasilan mereka juga sangat terbatas karena rata-rata masih di sekitar upah minimum regional (UMR), bahkan tidak sedikit yang justru masih di bawah UMR.

Kondisi tersebut salah satunya disebabkan oleh latar belakang dan tingkat pendidikan yang tidak memadai dari kaum wanita itu sendiri. Akibat kaum wanita masih kurang memperoleh pendidikan tinggi, secara umum kehidupan sosial dan ekonominya juga memprihatinkan. Dalam hal ini terdapat hubungan kausal antara tingkat pendidikan wanita dengan ingkat kehidupan ekonominya. Semakin tinggi tingkat pendidikan wanita akan semakin tinggi pula tingkat kehidupan ekonominya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan wanita akan semakin rendah pula tingkat kehidupan ekonominya.

Dalam hal-hal tertentu, sebagian wanita mungkin memiliki kehidupan yang lebih baik, namun biasanya bukan murni kerena hasilnya sendiri. Termasuk dalam dunia politik juga biasanya karena ada faktor lain, seperti karena hubungan keluarga, persaudaraan, pertemanan, dan lain-lain. Oleh karena itu, upaya peningkatan kesederajatan di ranah politik harus didukung dengan aspek pendidikan wanita. Kesederajatan di bidang politik atau bidang apapun tidak mungkin akan tercapai apabila pihak wanita itu sendiri tidak memenuhi aspek syarat pendidikan. Dengan demikian, dalam hal ini terdapat hubungan yang sangat erat antara HAM Politik dengan HAM Ekosob, sehingga tidak mungkin dipisahkan satu sama lain. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below