Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Keempat Puluh Satu)

Oleh: Hernadi Affandi

UUD 1945 setelah perubahan kedua, memasukkan materi muatan tentang HAM secara lebih lengkap dan banyak jumlah dan jenisnya. Terdapat puluhan jenis HAM baru yang dimasukkan ke dalam UUD 1945 melalui perubahan kedua yang dilakukan pada tahun 2000. Adapun materi muatan HAM baru tersebut sebagian berasal dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) dan kovenan atau konvensi internasional. Penambahan materi muatan HAM baru semakin mempertegas komitmen Indonesia dalam upaya penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.

Penambahan materi muatan baru ke dalam UUD 1945 yang demikian banyak masih dirasakan memiliki kekurangan karena tidak secara utuh memasukkan pula HAM wanita atau perempuan. Padahal, sebanyak 7 (tujuh) pasal dari UU HAM secara khusus mengatur tentang HAM wanita mulai dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 51. Namun demikian, materi muatan UU HAM tersebut tidak diakomodasi ke dalam UUD 1945 pada waktu perubahan kedua. Perumusan HAM baru di dalam UUD 1945 lebih banyak menggunakan frasa “setiap orang”, “setiap anak”, atau “setiap warga negara”, namun tidak satupun pasal, ayat, atau frasa yang menyebutkan “setiap wanita” atau “setiap perempuan”.

Ketiadaan pengaturan terkait dengan HAM wanita tersebut kemudian banyak menimbulkan pertanyaan di kalangan tertentu, khususnya para aktivis HAM wanita atau perempuan, kaum feminis, atau pemerhati HAM pada umumnya. Adanya kecenderungan masyarakat di dunia yang berupaya menghapuskan berbagai bentuk dan jenis diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, ternyata di Indonesia kurang mendapatkan respon ketika melakukan perubahan kedua UUD 1945 pada tahun 2000. Akibatnya, terdapat kesan bahwa UUD 1945 kurang menghargai dan mengakomodasi HAM wanita.

Dengan demikian, materi muatan UU HAM yang diakomodasi ke dalam UUD 1945 adalah hanya kategori HAM anak, sedangkan HAM wanita tidak diakomodasi sama sekali. Padahal, UU HAM sudah mengatur HAM wanita dengan menegaskan bahwa hak wanita sebagai bagian dari HAM. Pasal 45 UU HAM berbunyi sebagai berikut “Hak wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia.” Penegasan tersebut sejalan dengan kovenan atau konvensi internasional di bidang HAM, khususnya HAM wanita. Contohnya adalah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

Pengaturan terkait dengan HAM wanita di dalam UU HAM baik mencakup HAM Sipil dan Politik (Sipol) maupun HAM Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob). Meskipun UU HAM tidak mengaturnya secara lengkap, setidaknya terdapat pengaturan beberapa HAM Sipol dan Ekosob di dalam UU HAM. Ketentuan tentang HAM Sipil khususnya terkait dengan status pernikahan dan kewarganegaraan antara lain diatur di dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 50, dan Pasal 51. Sementara itu, HAM Politik antara lain diatur di dalam Pasal 46 dan Pasal 49 UU HAM.

Pasal 47 UU HAM berbunyi sebagai berikut “Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.” Dalam hal ini, HAM wanita Indonesia masih tetap dilindungi apabila terjadi pernikahan campuran dengan orang asing atau berstatus warga negara asing. Pernikahan seorang wanita Indonesia dengan orang asing tidak serta-merta mengakibatkan status kewarganegaraannya sebagai WNI hilang, kecuali yang bersangkutan menyatakan dengan tegas melepaskan statusnya sebagai WNI dan mengikuti atau memilih kewarganegaraan suaminya.

Selanjutnya, HAM wanita, khususnya yang sudah dewasa atau menikah juga diatur di dalam Pasal 50 UU HAM. Pasal  50 berbunyi sebagai berikut “Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.” Sementara itu, Penjelasan Pasal 50 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan hukum sendiri” adalah cakap menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum, dan bagi wanita beragama Islam yang sudah dewasa, untuk menikah diwajibkan menggunakan wali.

Secara umum, wanita dianggap cakap hukum, sehingga dapat melakukan segala perbuatan hukum. Pengertian perbuatan hukum adalah setiap perbuatan yang sesuai dengan hukum dan akibatnya diatur oleh hukum, dan akibatnya itu dapat dianggap “dikehendaki” oleh yang melakukan perbuatan itu. Misalnya, membuat perjanjian, mendirikan perusahaan, membuat surat wasiat, dan sebagainya. Pengecualian cakap hukum dilakukan terhadap wanita muslimah dalam hal melakukan pernikahan karena agama Islam mewajibkan adanya wali nikah. Dengan demikian, perbuatan hukum tersebut dikecualikan dalam konteks pelaksanaan agamanya.

Pengecualian atas dasar pelaksanaan agama dalam hal itu tentu bukan diskriminasi karena justru untuk menunjukkan bahwa HAM tidak selalu bersifat netral atau bebas nilai. HAM sebagai hak yang bersifat mendasar dan fundamental yang diberikan oleh Tuhan tidak dapat mengabaikan nilai-nilai agama itu sendiri. Pernikahan sebagai sesuatu yang suci sebagai bagian dari pelaksanaan agama, khususnya Islam, dalam hal itu mensyaratkan adanya pihak wali yang merupakan representasi ajaran agama. Namun demikian, untuk agama di luar Islam mungkin juga memiliki ketentuan yang sama atau bahkan berbeda, tetapi tidak ditegaskan di dalam UU HAM tersebut. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below