Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Keempat Puluh Tiga)

Oleh: Hernadi Affandi

Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU HAM) telah mengatur kesederajatan antara isteri (baca: wanita) dengan suami (baca: pria) dalam hubungan ikatan pernikahan atau urusan keluarga yang biasa disebut dengan urusan domestik. Secara tegas UU HAM sudah mengatur kesederajatan antara isteri dengan suami dalam banyak aspek urusan keluarga, seperti kehidupan perkawinan, hubungan dengan anak-anak, hak pemilikan harta bersama, termasuk pengelolaan harta bersama. Dengan kata lain, selama ikatan pernikahan kedua belah pihak memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam urusan domestik keluarganya.

Demikian pula halnya, kesederajatan antara wanita dengan pria tetap diakui dan dihormati sekalipun perkawinannya telah putus atau bercerai. Seorang isteri yang sudah berpisah dari suaminya tetap mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya. Dalam hal ini, isteri dan mantan suaminya memiliki hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua dalam hal pendidikan, biaya hidup, kasih sayang, serta pembinaan masa depan yang baik bagi anak atau anak-anaknya. Hak dan tanggung jawab tersebut termasuk pula di dalamnya hak pengasuhan anak.

Selain dalam urusan domestik keluarga, UU HAM telah mengatur pula kesederajatan antara wanita dengan pria dalam lapangan yang lebih luas, yaitu lapangan politik atau biasa disebut dengan urusan publik. Hal itu menunjukkan bahwa kesederajatan antara wanita dengan pria bukan hanya semata-mata dalam urusan keluarga yang sifatnya domestik dan privat. Kesederajatan antara wanita dengan pria juga berlaku untuk urusan yang menyangkut ketatanegaraan dan kepemerintahan yang selama ini lebih banyak didominasi oleh golongan pria. Dengan demikian, dalam urusan publik juga tidak ada lagi dominasi pria atas wanita.

Kesederajatan antara wanita dengan pria dalam konteks HAM Politik sudah ditegaskan di dalam Pasal 46 dan Pasal 49 UU HAM. Kedua pasal tersebut semakin menegaskan adanya hak dan kewajiban yang sama dan berimbang antara wanita dengan pria bukan hanya dalam konteks HAM Sipil, khususnya dalam urusan keluarga, tetapi juga dalam HAM Politik, termasuk dalam kesempatan untuk turut serta dalam pemerintahan. Ketentuan tersebut semakin menegaskan pula bahwa wanita dengan pria memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam mengelola negara dan pemerintahan bukan hanya dalam mengurus keluarga.

Adapun Pasal 46 UU HAM berbunyi sebagai berikut “Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.” Sementara itu, Penjelasan Pasal 46 UU HAM menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “keterwakilan wanita” adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan pemilihan umum menuju keadilan dan kesetaraan jender.

Berdasarkan ketentuan Pasal 46 UU HAM tampak bahwa wanita memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan pria dalam urusan politik dan ketatanegaraan. Oleh karena itu, seluruh sistem politik dan ketatanegaraan harus membuka peluang keterlibatan wanita mulai dari sistem pemilihan umum, kepartaian, dan pelaksanaan pemilihan anggota badan legislatif. Bahkan, kesempatan tersebut juga terbuka untuk jabatan publik lainnya seperti dalam jajaran eksekutif dan judikatif. Dengan demikian, wanita sudah secara normatif benar-benar diberikan peran yang penting dalam mengelola negara dan pemerintahan.

Ketentuan tersebut semakin jelas dan lengkap jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 49 UU HAM yang berbunyi sebagai berikut: (1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. (2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita. (3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.

Selain diatur secara khusus terkait dengan kesederajatan wanita dengan pria di dalam Pasal 46 dan Pasal 49 UU HAM, terdapat pula ketentuan yang lebih umum karena menyangkut setiap warga negara termasuk di dalamnya wanita. Hal itu diatur di dalam Pasal 43 UU HAM yang mengatur hak setiap warga negara, termasuk wanita, dalam pemilihan umum dan untuk turut serta dalam pemerintahan. Ketentuan tersebut sekaligus memperkuat kedudukan wanita di dalam urusan politik dan ketatanegaraan termasuk hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh jabatan politik atau jabatan publik sebagai bagian dari HAM Politik.

Pasal 43 UU HAM selengkapnya berbunyi sebagai berikut: (1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. (3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below