Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Kelima Belas)

Oleh: Hernadi Affandi

Ketersediaan mekanisme dan lembaga untuk menyelesaikan pelanggaran HAM nonberat akan menjadi penting dalam upaya penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Bahkan, hal itu menjadi conditio sine qua non dalam konteks penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM di Indonesia. Pengalaman menunjukkan bahwa ketiadaan mekanisme dan lembaga yang dapat menangani dan menyelesaikan pelanggaran HAM nonberat selama ini justru menjadi bagian yang turut menyumbang kesulitan dalam penegakannya.

Kehadiran mekanisme dan lembaga yang menangani dan menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM nonberat ke depan tampaknya sudah merupakan sesuatu yang mendesak (urgent). Hal itu didasarkan kepada kepentingan nyata sebagai bagian dari upaya penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM di Indonesia. Menurut Penulis, terdapat setidaknya lima alasan yang dapat menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan dalam mendorong tersedianya mekanisme dan lembaga tersebut dari sisi akademik.

Pertama, kehadiran mekanisme dan lembaga tersebut akan menjadi indikator penting yang akan menjadi penanda Indonesia sebagai negara yang menghormati, melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi HAM. Ketiadaan mekanisme dan lembaga yang menangani dan menyelesaikan pelanggaran HAM nonberat selama ini belum cukup membuktikan Indonesia sebagai negara yang peduli HAM. Adanya pembiaran terjadinya pelanggaran HAM nonberat di dalam masyarakat menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya menghormati, melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi HAM.

Kedua, kehadiran mekanisme dan lembaga tersebut akan menjadi sarana yang efektif dalam menangani dan menyelesaikan pelanggaran HAM nonberat yang selama ini tidak tersedia salurannya. Penanganan dan penyelesaian pelanggaran HAM nonberat ke depan akan memiliki sarana yang tepat, sehingga dapat dilakukan secara tuntas dan tepat sasaran. Kesulitan yang terjadi dalam menangani dan menyelesaikan pelanggaran HAM nonberat selama ini justru karena tidak adanya mekanisme dan lembaga yang secara khusus menangani dan menyelesaikannya.

Ketiga, kehadiran mekanisme dan lembaga tersebut akan menjadi faktor pendorong dalam menangani dan menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM nonberat yang selama ini seakan-akan terabaikan. Ketersediaan mekanisme dan lembaga tersebut ke depan akan memudahkan berbagai pihak dalam menangani dan menyelesaikan pelanggaran HAM nonberat tersebut. Dalam hal ini, ketika terjadi pelanggaran HAM nonberat dalam berbagai bentuk dan jenisnya sudah tersedia mekanisme dan lembaga yang siap untuk menangani dan menyelesaikannya secara adil dan profesional.

Keempat, kehadiran mekanisme dan lembaga tersebut akan memberi dampak positif dalam upaya mencegah terjadinya pelanggaran HAM nonberat pada masa yang akan datang. Dalam hal ini, pelaku potensial dalam pelanggaran HAM nonberat akan berpikir ulang sebelum melakukan tindakan atau perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Konsekuensinya, pelanggaran HAM nonberat secara langsung atau tidak langsung akan berkurang bahkan dapat diminimalisasi karena pelakunya sudah tidak akan lagi bebas bertindak dan berkeliaran seperti saat ini.

Kelima, kehadiran mekanisme dan lembaga tersebut akan menunjukkan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM dilakukan secara utuh dan menyeluruh. Selama ini terdapat kesan bahwa HAM dan pelanggaran HAM hanya ditujukan kepada jenis HAM tertentu, sedangkan yang lainnya diabaikan. Oleh karena itu, kriteria pelanggarannya pun sangat terbatas kepada pelanggaran HAM berat saja, sedangkan pelanggaran HAM nonberat sama sekali belum mendapatkan perhatian serius. Padahal, HAM apapun jenis dan bentuknya harus tetap dihormati, dilindungi, dimajukan, ditegakkan, dan dipenuhi di dalam tataran praktik,

Namun demikian, Penulis sendiri menyadari bahwa kelima aspek tersebut pasti belum lengkap dan masih harus dilengkapi dari berbagai sudut pandang lainnya. Pemikiran tersebut masih didominasi oleh perspektif hukum, khususnya Hukum Tata Negara dan Hukum Hak Asasi Manusia. Aspek hukum lainnya juga harus ditambahkan, seperti aspek Hukum Pidana, Hukum Administrasi Negara, Hukum Perdata, dan lain-lain. Bahkan, perspektif hukum saja masih juga dirasakan belum lengkap karena masih bersifat monodisiplin. Oleh karena itu, pemikiran di atas masih harus ditambah dari disiplin ilmu lainnya agar jauh lebih lengkap dan komprehensif.

Dalam hal ini, pemikiran tersebut semestinya ditambah dari berbagai bidang atau disiplin ilmu lainnya di luar disiplin ilmu hukum. Pemikiran tersebut dapat berasal dari disiplin atau aspek ekonomi, sosiologi, antropologi, politik, kebijakan publik, dan lain-lain. Alasannya, pembentukan suatu lembaga tentu tidak mudah apalagi terkait dengan pembentukan lembaga peradilan. Aspek yang terkait di dalamnya bukan hanya aspek hukum semata-mata, tetapi juga banyak aspek lain yang perlu dipersiapkan sebelum gagasan tersebut diwujudkan dalam tataran praktik. Oleh karena itu, keterlibatan banyak pihak dalam hal ini akan semakin melengkapi dan memperkaya pemikiran tersebut.

Pemikiran tersebut setidaknya sebagai pemicu diskusi bagi kalangan yang lebih luas bukan hanya dari dunia akademisi, tetapi juga dari praktisi termasuk politisi. Pemikiran ini diharapkan akan mendapat respon dari komponen masyarakat lainnya sebagai salah satu upaya yang sangat penting dalam perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia. Pihak berwenang semestinya mulai memikirkan upaya perlindungan dan penegakan HAM secara lebih komprehensif bukan hanya terbatas kepada pelanggaran HAM berat semata-mata, tetapi juga terhadap pelanggaran HAM nonberat. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below