Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Kesembilan)

Oleh: Hernadi Affandi

Di satu sisi, masing-masing pihak tersebut baik pemerintah, aparatur negara, pejabat publik lainnya, maupun individu, masyarakat, atau korporasi memiliki peran penting dalam penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Namun di sisi lain, pihak-pihak tersebut juga memiliki potensi menjadi pelaku pelanggaran HAM itu sendiri sesuai dengan kapasitas dan kedudukannya masing-masing. Artinya, peluang pihak-pihak tersebut melakukan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM berbanding lurus dengan peluang pihak-pihak tersebut melakukan pelanggaran HAM.

Dengan demikian, pelanggaran HAM bukan hanya dilakukan oleh para penyelenggara negara dan pemerintahan (state actors) tetapi juga oleh bukan aparatur negara (nonstate actors). Dalam hal ini, pelaku dari sisi negara dapat saja pemerintah, aparatur negara, pejabat publik, dan lain-lain. Sementara itu, dari sisi bukan negara dapat saja perorangan, kelompok, korporasi, dan lain-lain. Artinya, sepanjang pihak-pihak tersebut melakukan tindakan disengaja, tidak disengaja, atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang merupakan pelaku pelanggaran HAM.

Persoalannya adalah hukum positif saat ini, khususnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU PHAM) belum mengakomodasi hal itu secara tegas dan komprehensif. Artinya, terdapat kesenjangan antara yang seharusnya atau idealnya (das sollen) dengan kenyataannya (das sein) dalam melakukan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM di Indonesia. Oleh karena itu, HAM di Indonesia masih belum mendapatkan perhatian secara utuh dan komprehensif termasuk apabila ada pelanggaran terhadapnya.

Keadaan tersebut akan berpengaruh terhadap penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM di Indonesia baik secara langsung atau tidak langsung. Padahal, Indonesia sudah berkomitmen untuk melakukan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM melalui ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, akibat belum utuh dan komprehensifnya dalam menyelesaikan pelanggaran HAM baik yang berat, sedang, maupun yang ringan, keadaan HAM di Indonesia seperti jalan di tempat. Dengan kata lain, pelanggaran HAM terus dan selalu terjadi dengan berbagai bentuk dan variasinya di dalam masyarakat.

Pelanggaran HAM sering bahkan selalu terjadi karena adanya anggapan yang kurang tepat terhadap makna pelanggaran HAM itu sendiri. Bahkan, persoalan yang lebih membahayakan adalah ketika pelanggaran HAM dianggap bukan pelanggaran HAM karena alasan bukan pelanggaran HAM berat. Padahal, pelanggaran HAM itu bukan hanya pelanggaran HAM berat, tetapi dapat juga pelanggaran HAM ringan, sedang, atau biasa (nonberat). Dengan demikian, pengertian dan pemaknaan pelanggaran HAM juga harus lebih ditegaskan di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi kesalahan persepsi, perspektif, dan konteks.

Oleh karena itu, secara ideal seluruh pelanggaran HAM baik yang ringan, sedang, apalagi berat harus diproses secara hukum agar tercipta keadilan. Namun demikian, idealitas itu belum sepenuhnya dapat terwujud karena adanya berbagai kendala baik teknis maupun nonteknis. Bahkan, peraturan perundang-undangan yang ada belum mengakomodasi adanya upaya penyelesaian pelanggaran HAM secara utuh dan komprehensif. Sampai saat ini, fokus perhatian masih terhadap pelanggaran HAM berat, sedangkan pelanggaran HAM nonberat belum mendapatkan perhatian. Akibatnya, pelanggaran HAM hanya identik pelanggaran HAM berat, sedangkan pelanggaran  HAM ringan, sedang, atau biasa (nonberat) dianggap bukan pelanggaran HAM.

Namun demikian, penyelesaian pelanggaran HAM berat sampai saat ini juga masih belum tuntas karena berbagai kendala yang tidak jelas. Beberapa kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu memang sebagian sudah diproses dan diadili secara hukum. Pelakunya sudah ada yang divonis oleh hakim pengadilan HAM baik yang diganjar dengan hukuman tertentu maupun dibebaskan. Namun demikian, peristiwa pelanggaran HAM masa lalu juga masih ada yang belum tuntas sampai saat ini. Artinya, pelanggaran HAM berat saja yang jadi fokus perhatian belum tuntas, apalagi pelanggaran HAM yang ringan, sedang, atau biasa (nonberat) yang sama sekali tidak mendapatkan perhatian.

Keadaan tersebut tentu bukan menjadi alasan apabila upaya dan tujuan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM menjadi fokus perhatian dan tanggung jawab negara. Justru akibat kekurangan dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu, fokus perhatian juga harus diarahkan kepada penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM ringan, sedang, atau biasa (nonberat). Upaya tersebut bukan hanya menunjukkan adanya bentuk tanggung jawab negara dalam penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM, tetapi juga sekaligus menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran terhadapnya.

Apabila penyelesaian pelanggaran HAM hanya berkutat terhadap pelanggaran HAM berat saja, akibatnya pelanggaran HAM akan selalu terjadi di masyarakat. Padahal, pelanggaran HAM berat sampai saat ini masih belum tuntas karena berbagai faktor kendala yang belum jelas. Artinya, pelanggaran HAM baik yang berat apalagi yang ringan, sedang, atau biasa (nonberat) tersebut tidak akan pernah ada penyelesaian secara hukum. Dalam hal ini, penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM hanya akan menjadi omong kosong belaka karena tidak mampu menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

Penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu semestinya terus diupayakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang brlaku. Sementara itu, pelanggaran HAM ringan, sedang, atau biasa (nonberat) juga harus ada penyelesaian melalui proses peradilan. Upaya tersebut akan berjalan jika tersedia lembaganya yaitu pengadilan yang akan mengadili dan menyelesaikan pelanggaran HAM nonberat tersebut. Jika selama ini sudah ada pengadilan HAM untuk pelanggaran HAM berat, semestinya tersedia juga pengadilan HAM nonberat yang akan mengadili dan menyelesaikan pelanggaran HAM nonberat alias pelanggaran HAM ringan, sedang, atau biasa. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below