Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Ketiga Puluh Enam)

Oleh: Hernadi Affandi

Dalam Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU PHAM), antara pengertian kompensasi dengan restitusi hampir sama, yaitu sama-sama terkait dengan ganti kerugian. Menurut Penjelasan Pasal 35 UU PHAM, kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Adapun restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Sementara itu, rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula. Dalam rehabilitasi tidak ada unsur ganti kerugian, tetapi hanya pemulihan kedudukan atau keadaan.

Menurut Penjelasan Pasal 35 UU PHAM tersebut perbedaan antara kompensasi dengan restitusi terletak pada pihak pemberi kompensasi atau restitusi tersebut. Kompensasi diberikan oleh negara, sedangkan restitusi diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga. Dalam hal ini, terdapat perbedaan pihak yang memberikan kompensasi dan restitusi, tetapi kedua-duanya dalam konteks memberikan ganti kerugian. Secara konseptual, ganti kerugian merupakan karakteristik hukum perdata yang diterapkan dalam hal terjadi pelanggaran HAM, khususnya dalam pelanggaran HAM berat.

Namun demikian, Penjelasan Pasal 35 UU PHAM tersebut tidak menjelaskan bahwa ganti kerugian tersebut akibat telah terjadi pelanggaran HAM apalagi pelanggaran HAM berat. Selain itu, pengertian kompensasi itu tidak menyebutkan siapa atau pihak mana yang akan menerima kompensasi tersebut. Sementara itu, di dalam restitusi dijelaskan bahwa pihak yang akan menerima restitusi adalah korban atau keluarganya. Oleh karena itu, pengertian kompensasi dan restitusi tersebut masih menimbulkan pertanyaan, bahkan perdebatan secara akademik

Di satu sisi, secara normatif UU PHAM mengakui dan mengatur kompensasi diberikan oleh negara, meskipun tidak disebutkan kepada “korban” atau “keluarganya” atau “ahli warisnya”. Secara implisit, pemberian kompensasi tentu akan diberikan kepada “korban”, “keluarganya”, atau “ahli warisnya”. Pemberian kompensasi kepada bukan korban, keluarga korban, atau ahli warisnya tentu tidak masuk akal dan berlebihan. Tetapi karena rumusannya tidak memasukkan hal itu, pemahamannya cukup dengan penafsiran atau dikembalikan kepada ketentuan normatif di dalam Pasal 35 UU PHAM.

Di sisi lain, UU PHAM justru tidak mengakui jika pelakunya adalah negara atau negara sebagai pelaku pelanggaran HAM. Hal itu tampak dengan menambahkan frasa “karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.” Dalam hal ini, muncul kesan bahwa pelaku pelanggaran HAM itu bukan negara atau negara bukan pelaku pelanggaran HAM tersebut, tetapi pihak lain. Oleh karena itu, muncul pertanyaan siapa sebenarnya pelaku pelanggaran HAM itu jika kompensasi diberikan oleh negara karena pelaku dianggap tidak mampu memberikan ganti kerugian.

Dalam UU PHAM memang tidak ditemukan secara eksplisit tentang pengertian pelaku pelanggaran HAM itu siapa atau pihak mana. Bahkan, pengertian pelanggaran HAM atau pelanggaran HAM berat juga tidak diatur secara jelas dan tegas. Padahal, kedua aspek tersebut, yaitu pengertian “pelaku” dengan “pelanggaran” merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pelaku maksudnya adalah pelaku dalam pelanggaran atau pelaku pelanggaran, sedangkan pelanggaran adalah pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku atau pelaku pelanggaran.

Di dalam Pasal 1 angka 2 UU PHAM hanya disebutkan bahwa “Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.” Dalam hal ini, definisi tersebut tidak memuat unsur subjek, predikat, objek, atau keterangan terkait dengan pelanggaran HAM itu sendiri. Akibatnya, muncul pertanyaan: siapa pelaku pelanggaran HAM itu, bagaimana cara atau metode pelanggaran HAM itu, apa akibat pelanggaran HAM itu, dan sebagainya. Beberapa pertanyaan tersebut tidak muncul dalam definisi tersebut, tetapi harus membaca keseluruhan UU PHAM.

Secara formal, UU PHAM itu sudah memastikan bahwa negara bukan sebagai pelaku pelanggaran HAM, apalagi pelanggaran HAM berat. Seandainyapun pelanggaran HAM itu dilakukan oleh negara, dalam hal ini negara tidak mengakuinya sebagai entitas negara, tetapi dibebankan atau diserahkan kepada individu atau seseorang dan dinggap tidak mewakili negara. Di dalam Pasal 1 angka 4 UU PHAM disebutkan bahwa “Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual.”

Pengertian seseorang tersebut benar-benar mengeluarkan negara dari kemungkinan sebagai pelaku pelanggaran HAM berat, meskipun pelakunya adalah militer atau polisi. Dengan demikian, jika terjadi pelanggaran HAM, pelaku yang merupakan militer atau polisi tersebut harus menanggung tindakannya itu sebagai pribadi atau bertanggungjawab secara individual. Namun demikian, jika akibat pelanggaran HAM itu harus memberikan kompensasi, negara yang akan membayar atau menanggungnya. Pemahaman itu yang muncul dari pengertian kompensasi yang dijelaskan di dalam Penjelasan Pasal 35 UU PHAM.

Secara teoretis, dalam konteks HAM negara juga merupakan pihak yang potensial sebagai pelaku pelanggaran HAM. Bahkan, menurut pandangan legalistik pelaku pelanggaran HAM itu hanya negara beserta aparaturnya. Artinya, menurut pandangan tersebut, pihak selain negara bukan pelaku pelanggaran HAM. Meskipun menurut pandang filosofis atau moralistis pelaku pelanggaran HAM dapat saja aparatur negara (state actors) atau bukan aparatur negara (non-state actors). Aparatur negara antara lain pemerintah, militer, polisi, atau birokrasi, sedangkan bukan aparatur negara seperti individu, masyarakat, atau korporasi. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below