Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Ketiga Puluh Satu)

Oleh: Hernadi Affandi

Pengaturan tentang kualifikasi pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur di dalam Pasal 8 sebagai kejahatan genisida dengan disertai sanksi terhadap pelakunya di dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 UU PHAM lebih menggunakan perspektif hukum pidana. Secara normatif, ketentuan tersebut memberikan kualifikasi terhadap perbuatan pidana umum dengan memberikan spesifikasi tertentu, sehingga kualifikasinya menjadi pelanggaran  HAM berat. Perbuatan pidana umum tersebut misalnya membunuh, memusnahan, mencegah kelahiran, atau memindahkan secara paksa.

Kekhususan dari perbuatan pidana umum tersebut terletak pada perbuatan yang dilakukan tersebut dimaksudkan untuk menghancurkan atau memusnahkan suatu kelompok bangsa, ras, etnis, atau agama. Dalam hal ini, sasarannya bukan individu atau kelompok yang bukan dalam pengertian bangsa, ras, etnis, atau agama. Perbedaan ini dapat saja menjadi persoalan di dalam tataran praktik ketika pelakunya “kebetulan” berbeda suku bangsa, ras, etnis, atau agama dengan pihak korbannya. Oleh karena itu, harus ada faktor yang membedakan dan menegaskan antara perbuatan yang benar-benar sebagai pelanggaran HAM berat karena ditujukan kepada kelompok-kelompon tersebut dengan kepada kelompok di luar itu.

Demikian pula halnya, ketentuan kualifikasi pelanggaran HAM berat yang diatur di dalam Pasal 9 UU PHAM sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketentuan tersebut juga merupakan perbuatan pidana umum, tetapi dengan memberikan spesifikasi tertentu, sehingga menjadi pelanggaran HAM berat. Perbuatan tersebut antara lain pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa, atau penganiayaan. Selain itu, terdapat ketentuan yang mungkin belum terakomodasi dalam kejahatan konvensional yang disebut dengan kejahatan apartheid. Adapun “kejahatan apartheid” adalah perbuatan tidak manusiawi yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu.

Kekhususan dari kualifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Selain itu, penganiayaan yang dilakukan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. Demikian juga halnya pengertian apartheid yang dilakukan oleh suatu kelompok atas kelompok lain dengan tujuan untuk membedakan atau meminggirkan hak-hak kelompok tersebut.

Berkaitan dengan ancaman sanksi terhadap pelaku pelanggaran HAM berat tersebut, menurut Penulis terdapat beberapa catatan. Pertama, terdapat perbuatan pelanggaran HAM yang diatur di dalam Pasal 9 UU PHAM, tetapi terabaikan di dalam ketentuan sanksinya sebagaimana diatur di dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 UU PHAM. Jenis pelanggaran HAM berat tersebut adalah tentang perbudakan (Pasal 9 huruf c). Meskipun sudah ada ketentuan sanksi yang terkait dengan “perbudakan seksual” di dalam Pasal 9 huruf g, kedua huruf tersebut dirumuskan secara terpisah, sehingga semestinya ancamannya juga tetap disebutkan untuk masing-masing huruf. Dengan kata lain, kategori pelanggaran perbudakan di dalam Pasal 9 huruf c tidak diancam dengan sanksi apapun di dalam pasal-pasal terkait dengan sanksi tersebut.

Kedua, secara akademik pembedaan sanksi terhadap jenis dan bentuk pelanggaran HAM berat masih menimbulkan perdebatan. Jika seluruh jenis dan bentuk pelanggaran HAM yang diatur di dalam Pasal 9 adalah pelanggaran HAM berat, semestinya pelanggaran tersebut diancam dengan sanksi yang sama atau setidaknya tidak terlalu jauh berbeda, misalnya ancamannya hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup. Dalam hal ini, semestinya tidak ada ancaman hukuman penjara “hanya” dengan 5 tahun saja karena semuanya dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Namun demikian, justru menjadi tidak logis ketika jenis atau bentuknya sebagai pelanggaran HAM berat, tetapi diancam dengan hukuman yang berbeda, bahkan “sangat ringan”.

Ketiga, secara tidak langsung sebenarnya pasal-pasal terkait dengan sanksi tersebut mengakui adanya gradasi dari jenis pelanggaran HAM berat tersebut, sehingga tidak diancam seluruhnya dengan hukuman maksimal terutama hukuman mati. Ketentuan sanksi tersbut bersifat alternatif dan gradasi, sehingga menunjukkan bahwa kualitas pelanggaran HAM berat tidak seluruhnya sama, tetapi memang memiliki perbedaan. Dengan demikian, jenis-jenis sanksi tersebut bersifat alternatif dan gradasi mulai dari yang paling berat atau tinggi, menurun ke tingkat yang lebih ringan atau rendah, sampai kepada yang paling ringan atau paling rendah. Dengan kata lain, pelanggaran HAM itu tidak seluruhnya pelanggaran HAM berat, tetapi dapat saja dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM nonberat alias ringan, sedang, atau biasa.

Keempat, perbedaan berat atau ringannya ancaman sanksi membuka peluang pelanggaran HAM berat juga tidak selalu dijatuhi hukuman yang seharusnya diberikan kepada pelaku pelanggaran HAM berat. Sanksi hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara 25 tahun merupakan jenis hukuman yang layak terhadap pelaku pelanggaran HAM berat. Namun demikian, jika pelaku pelanggaran HAM berat “hanya” dijatuhi hukuman 10 tahun penjara apalagi 5 tahun penjara tentu tidak layak. Dalam arti, untuk apa pelanggaran HAM itu dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, tetapi ancamannya seperti perbuatan pidana pada umumnya. Misalnya, seseorang yang membunuh dengan kualifikasi “pembunuhan biasa” bukan dalam konteks pelanggaran HAM berat.

Kelima, adanya alternatif dan gradasi ancaman hukuman terhadap pelaku pelanggaran HAM berat secara tidak langsung membuka peluang terjadinya proses hukum untuk pelaku pelanggaran HAM nonberat. Dalam hal ini, pelaku pelanggaran HAM berat yang diancam dengan pidana penjara antara 5 sampai 10 tahun, semestinya dikategorikan sebagai pelanggaran HAM nonberat atau sedang, bahkan mungkin cukup kategori ringan alias biasa. Dengan demikian, semua jenis pelanggaran HAM akan terakomodasi dan dapat diproses secara hukum bukan hanya untuk pelanggaran HAM berat saja. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below