Menyoal Fenomena Caleg Gagal Dalam Pileg (Bagian Keempat)

Oleh: Hernadi Affandi

Fenomena politik uang dalam bentuk uang atau barang menjelang dan pada saat Pileg, Pilpres, atau Pilkada sulit dikatakan sebagai tindakan yang “ikhlas” dalam rangka mencari pahala. Mungkin saja ada yang bernar-benar demikian, tetapi anggapan umum justru sebaliknya.

Masyarakat umum sudah tahu bahwa politik uang adalah sebagai upaya untuk merebut hati masyarakat untuk memilih si pemberi baik caleg maupun paslon tertentu. Dengan kata lain, politik uang adalah sebagai upaya untuk membeli suara masyarakat dengan harga tertentu.

Semua uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat oleh si pemberi pasti sudah diperhitungkan untung ruginya. Oleh karena itu, ketika suara yang diharapkan tidak sesuai dengan uang atau barang yang dikeluarkan pasti akan diperhitungkan oleh si pemberinya.

Dalam hal ini, si pemberi akan menghitung misalnya apakah uang atau barang yang dikeluarkan sepadan dengan suara yang diperoleh. Jika suara itu sepadan tentu si pemberi tidak akan mempersoalkan apalagi harus mengambil kembali uang atau barang yang sudah diberikan.

Tetapi ketika menurut hitung-hitungannnya suara itu tidak sepadan dengan uang atau barang yang sudah diberikan, pasti si pemberi akan mempersoalkannya. Apalagi jika uang atau barang itu merupakan hasil menjual asset atau meminjam ke sana ke mari pasti akan dikejar kembali.

Salah satu caranya adalah dengan meminta kembali uang atau barang yang sudah diberikannya baik secara langsung maupun melalui tim kampanye atau tim suksesnya. Hal itu terjadi karena mereka merasa rugi sudah banyak berkorban baik berupa uang, barang, maupun bentuk lain.

Kejadian seperti itulah yang marak terjadi dalam waktu beberapa hari terakhir ini yang dipertontonkan oleh para caleg gagal. Secara umum, kekecewaan yang dialami para caleg gagal tersebut dapat “dimaklumi”, meskipun tentu saja kejadian itu terjadi atas ulahnya sendiri.

Sejak awal para caleg gagal tersebut semestinya sudah memprediksi jika upaya mengambil hati masyarakat itu gagal resikonya akan “buntung”. Artinya, uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat tidak signifikan membawanya ke lembaga legislatif yang ditujunya.

Kejadian itu dapat terjadi karena pikiran masyarakat berbeda dengan pikiran para caleg tersebut. Dalam hal ini, masyarakat berdalih bahwa memilih adalah haknya atau akan memilih menggunakan hati nurani, sedangkan para caleg atau pemberi justru berpendapat lain lagi.

Para caleg atau tim sukses yang membagikan uang atau barang justru akan menganggap masyarakat telah berbohong atau berkhianat. Kesan itu yang ditangkap dari para caleg gagal atau tim suksesnya yang sudah bersusah payah mempengaruhi hati masyarakat tetapi gagal

Terhadap kejadian tersebut, alih-alih masyarakat merasa iba atau turut prihatin justru meledeknya dengan berbagai macam cara. Bahkan, sebagian masyarakat menjadikan hal itu sebagai bahan olok-olok atau lucu-lucuan di media sosial dengan segala perspektifnya.

Sebagian masyarakat ada yang membuat video yang berisi parodi para caleg gagal yang digambarkan depresi, stress, bahkan gila. Hal itu diakibatkan politik uangnya yang tidak berhasil dalam mengambil hati masyarakat, sehingga gagal menjadi anggota legislatif.

Menurut berita atau video yang beredar di media sosial misalnya justru si pemberi itu menganggap bahwa masyarakat tidak bersifat kesatria. Artinya, uang atau barangnya diambil atau diterima tetapi orangnya tidak dipilih, sehingga tidak ada suara atau sedikit yang memilihnya.

Menurut versi si pemberi apabila memang tidak akan memilih yang bersangkutan semestinya dari awal tidak menerima bantuan atau sumbangan tersebut. Alasannya, ketika masyarakat mau menerima atau mengambil uang atau barang yang diberikan artinya setuju untuk memilihnya.

Oleh karena itu, ketika suaranya hanya sedikit atau di luar target si pemberi, hal itu yang kemudian membuat si pemberi menjadi “murka”. Akibatnya, si pemberi melakukan tindakan yang di luar nalar dengan mengambil kembali uang atau barang yang sudah diberikannya. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below